Jadi, pernyataan dan hubungan logis dari “sang Lain” menjadi ‘penanda ego yang lain’.
“Sang Lain” seperti lainnya dimurnikan dan direfleksikan melalui orang beriman sebagai “Aku yang lain” yang menjalankan puasa Ramadhan mencoba meniru sifat “sang Lain” (sang Ilahi), diantaranya meliputi rangkaian kata sifat “penyayang,” “penyantun,” “pengampun,” “perkasa,” atau “mengetahui” secara relatif dari seseorang sebagai makhluk, ‘yang diciptakan’ semula bersifat pribadi menjadi bersifat sosial.
Karena itu, “Sang Ilahi sebagai Sang Lain” dengan segala energi-Nya mampu diserap sekaligus dipancarkan oleh orang-orang beriman yang berpuasa sebagai “Aku yang lain” tidak terbeli dengan egoisme (ananiyah).
Kata lain, “Aku yang ter-Ilahiakan” tidak tereduksi dengan egoku sendiri. Ingatlah!
Ketidakhadiran “Sang Lain” (Allah) bagi seorang hamba adalah dosa-dosa membuat hatinya atau orang-orang yang mengingkari-Nya. Ya Allah, ya Maha Pengampun, ampunilah dosa-dosaku! Kasihanilah hamba-Mu! Sinarilah dengan Cahaya-Mu!
Dalam puasa Ramadhan, “Aku yang lain” dari orang-orang beriman yang berpuasa melampaui “Aku adalah ...,” “Aku berpikir ...” “Aku berhasrat …” Ada saat kita ditinggikan, ada saat kita direndahkan gara-gara kita sendiri (QS [95] : 4-5). Sampai di sini, “Aku” masih bersifat plural.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI