Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Fantasi atas Politik Kuasa

17 Januari 2023   09:05 Diperbarui: 5 Juni 2023   12:29 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi figur Capres dan Cawaores di Pilpres 2024, dokpri

Hal ini tidak berarti parpol yang memiliki tanda keterpilihan mutlak dan saat-saat tertentu melupakannya. Katakanlah, jika dihubungkan antara tanda keterpilihan calon presiden dan tanda kesejahteraan rakyat ternyata memerlukan diskursus politik untuk melampaui analisis itu sendiri.

Mengapa? Sebagaimana hasrat, maka fantasi juga melampaui analisis dan prediksi. 

Dari gambaran fantasi yang berbeda-beda itulah menjadi tanda-tanda realitas politik. Jika keluar dari prediksi, parpol akan melepaskannya seketika.

Sementara, ruang kehidupan politik diharapkan tidak tercabik-cabik hanya karena tajamnya perbedaan kepentingan. Fantasi atas politik berarti ditandai oleh seseorang atau masyarakat ingin terpilih dan memilih sosok ideal.

Pada lapisan terluar dan nyata yang terlokalisir dalam diskursus politik, bukan representasi. Sedangkan dalam fantasi kosong dari politik terletak pada pernyataan tentang pemerintahan yang belum bebas dari korupsi. Pada lapisan yang beragam dan terpencar-pencar itu, pilihan politik bergantung pemilik suara, yaitu masyarakat pemilih.

Politik uang atau politik bebas dari korupsi, misalnya bukanlah jenis fantasi atau penanda kosong dan gagasan dianggap tidak masuk akal. 

Elite politik mencoba untuk menjelaskan secara terbuka tanpa terburu-buru, dimana tanda efektifitas perjuangan politik bukanlah titik fantasi nol. 

Apalagi dikatakan bentuk 'kepenuhan' fantasi atas politik tidak terlepas dari hasrat untuk berkuasa di media sosial atau warganet. 

Fantasi ada saatnya menjadi kekuatan politik kebenaran yang dianalisis oleh Michel Foucault dalam The Order of Things (2005) dan Slavoj Zizek dalam The Flague of Fantasies (2008) dengan "Tujuh Tabir Fantasi." 

Bagaimanapun juga, semakin sering fantasi bekerja dengan caranya sendiri, membuat kader parpol tertentu semakin terbuka melihat realitas yang berkembang di luar. Politik dengan fantasi turut memainkan seni tersendiri.

Supaya tidak mengalami kemandekan, maka fantasi ditarik kembali ke luar melalui siapa calon presiden atau kandidat dalam pemilihan. Tanpa garis pembatas antara bahasa politik dan  kepentingan yang ingin mereka raih. Mereka asyik masyuk mencari titik celah lawan politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun