Fantasi atas politik bisa digambar dan dipikirkan. Fantasi begitu dekat dengan benda-benda yang tidak tersusun secara teratur dan stabil. Ia terjalin secara acak sekaligus hilir mudik.Â
Obyek yang dibentuk oleh diskursus politik, yaitu proporsional tertutup atau terbuka.
Tanpa representasi pemilihan yang mana lebih unggul hingga titik terakhir kemunculannya, maka fantasi akan politik masih bisa memainkannya. Pertarungan politik berinteraksi dengan tujuan telah ditentukan melalui tahapan diskursus politik. Pertarungan politik itu bertujuan untuk melepaskan hal-hal yang mustahil menjadi tidak mustahil. Bukankah begitu ajaran politik?
Hal ini, fantasi atas politik tidak mencoba untuk memantul, tetapi menukik dan memanuver. Apa yang dinginkan oleh kader parpol?Â
Dari sesuatu yang belum tercipta menjadi adu strategi dan skenario politik harus dimainkan melalui diskursus. Setelah memberinya kemungkinan yang semakin dekat, diskursus politik masih harus dari arah lain.
Kembali pada representasi, bahwa disamping pikiran, ingatan, tanda, tiruan, dan imajinasi, fantasi atas politik merupakan representasi yang diserap dan dilepaskan.Â
Representasi imajinasi tidak memerlukan analisis dan hirarki, kecuali fantasi akan politik dengan hitung-hitungan yang ingin dirahi.
Tetapi, fantasi atas politik bukan gambar proyeksi pertumbuhan atas sesuatu. Ia bukanlah tabel data atau matriks.Â
Pada saat pikiran direbah, fantasi mendatanginya dengan penuh kejutan dan teka-teki dengan mengisinya sesuai benda-benda yang diinginkan.Â
Dalam taraf citra pikiran itulah, fantasi atas politik muncul tidak selebar jendela rumah, dibanding luas dunia narasi politik yang berseliweran.
Sejauh yang kita pikirkan, tanda-tanda perubahan konstelasi politik telah menyembunyikan dan muncul kembali melalui fantasi. Dari biasanya dalam wujud aktual dan wujud virtual (safari politik, riuh di medsos), sehingga kita masih meraba-raba rahasia dan hakikatnya.