Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Desember Ceria Penerima Sertifikat Tanah Melebihi Diskursus

1 Desember 2022   20:45 Diperbarui: 24 Mei 2023   17:55 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Presiden Jokowi menyerahkan sertifikat tanah secara virtual (Sumber gambar: jawapos.com)

Kembali teringat pada satu momen yang telah berlalu. 

Sekitar tiga tahun lalu, 2019, gelar Debat Kedua Calon Presiden Indonesia, Jokowi dan Prabowo.

Momen itu memberi nuansa berbeda dengan mengangkat pokok permasalahan capaian program pembagian lahan di masa pemerintahan petahana.

Program Strategis Nasional (PSN) itu, diantaranya pembagian sertifikat lahan alias tanah dan masa konsesi atas pemanfaatan lahan.

Banyak konflik agraria mencuat lantaran tidak memiliki sertifikat tanah.

Misalnya, ada tetangga di sebelah menghadapi kasus tanah akibat tidak punya bukti-bukti kepemilikan tanah yang sah.

Hasil "nguping," ternyata semua rumah di sebelah hanya berstatus hak guna pakai. Meskipun ada alasan mereka yang membayar PBB, namun tidak punya bukti surat tanahnya.

Akhirnya, semua rumah di lahan sebelah dieksekusi setelah dimenangkan oleh pemilik tanah yang sah di pengadilan. Tidak ada yang bisa diperbuat jika tidak punya sertifikat tanah.

Momen pembagian sertifikat tanah berulang, di waktu dan tempat yang berbeda. Kali ini, kegiatan pembagian sertifikat diikuti oleh Presiden Jokowi secara virtual.

Sasaran sertifikat tanah sebanyak 150 orang warga Ibu Kota Jakarta, diundang sebagai perwakilan penerima manfaat dari hasil pendaftaran tanah sistemis lengkap (PTSL) di hari itu juga (1/12/2022).

Tercatat, sebagaimana pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyatakan, bahwa 1,9 juta sertifikat untuk warga Jakarta di tahun 2022. Wow, melebihi target sertifikat tanah yang diserahkan pada warga yang berhak.

Diketahui, penyerahan sertifikat hak atas tanah untuk rakyat oleh Presiden Jokowi dengan total sebanyak 1.552.450 sertifikat di 33 provinsi se-Indonesia. PSN tersebut, mencakup PTSL sebanyak 1.432.751 sertifikat dan redistribusi lahan sebanyak 119.699 sertifikat.

Kita yakin, para penerima manfaat sertifikat tanah terasa terhibur di tengah langganan banjir, macet, dan permasalahan kompleks lainnya mengguyur Jakarta.

Tentu, wajah-wajah ceria sama cerianya dengan bulan Desember. Awal yang baik di bulan terakhir 2022 bagi sekian banyak penerima sertifikat tanah.

***

Permulaan-permulaan yang tepat dan terulang dari pemerintah, yang ditemukan dalam kata-kata melalui sertifikat tanah. Kata-kata yang tidak terucap mendadak melayani berita-berita.

Ia tidak terdengar dari kejauhan, padahal lebih nyaring dari pembicaraan antara dua wajah, empat wajah. Banyaknya jumlah penerima sertifikat tanah turut menyaksikan perkembangan yang tidak linear dari lahan menohok bumi secara geometris.

Kata-kata dan benda-benda yang diselipkan dirahi tidak susah payah, karena titik tolaknya diiringi dengan diskursus dan kelahirannya sudah lama diperbincangkan. “Anda mendahului perbincangan.”

Tetapi, saya menanggapi lain. Betapa serunya mengucapkan kata-kata melalui sertifikat tanah. Pemilik tidak memiliki celah dan rahasia karena punya sertifikat.

Janji bukan sembarang janji. Janji sertifikat tanah itu telah ditepati. Sertifikat tanah tidak menjadi ledakan sejenak. Ia muncul dan menghilang kembali.

Kata-kata diselipkan dalam benda-benda yang tidak tembus pandang, tidak memiliki tabu dan larangan. Kata-kata yang tidak mencurigakan muncul di balik tanda-tanda kekayaan berupa sertifikat tanah. Kita membicarakan lahan berarti membicarakan kekayaan.

Sejauh yang kita ketahui, penguasaan, pembagian, dan pemanfaatan lahan kali ini tidak akan dipaksakan untuk memasuki perbedaan gagasan antara pihak pendukung dan penentang kebijakan pemerintahan yang berlangsung. Bahasa yang akan dibangun melalui diskursus. Karena itu, hubungannya yang lain dengan penulisan benda-benda dalam masa pemilikan lahan.

Meskipun pembagian lahan pada petani, buruh tani atau karyawan ada yang menganggap tidak memecahkan permasalahan konflik agraria. Suatu hal yang diperbincangkan, lahan tidak dianggap lagi sebagai cara pembacaan atas benda-benda melalui teks hukum, dimungkinkan tidak rentang untuk disembunyikan.

Saya tidak akan memiliki kecenderungan untuk melibatkan berlarut-larut dengan bahasa yang tidak ingin keluar dari sengkarut politik. Barangkali, dalam masa yang akan kita hadapi adalah masa depan yang jauh.

Seseorang yang memiliki lahan bersertifikat akan terbebas dari ucapan-ucapan, terbungkus dan terpoles secara retorika.

Tanah jauh meninggalkan kata-kata yang selaras antara ucapan dan tangan, langkah kakinya, mata dan penciuman pemilik tanah. Seseorang lebih penting berada antara tubuh dan kesenangan dirahi tidak tersembunyi di balik lembah, humus, hamparan, dan benda-benda lainnya seakan-akan berbicara langsung tanpa kedok.

Saya masih akan berbicara seputar benda-benda. Sertifikat tanah merupakan kelompok kata-kata yang terikat secara hukum. Ia tidak bisa dipermainkan begitu saja.

Sertifikat tanah sudah lama didambakan warga dengan genggaman tangan yang begitu kuat dan sulit dilepas. Benda-benda itu masih belum terbendakan yang dipreteli kata-katanya sendiri telah ada sebelum kelahiran sertifikta tanah.

Saya mencoba untuk menghindari ujaran atau kata-kata yang mengigau apa-apa yang ditampilkan oleh seseorang sebagai teman canda tawa dan lawan pembicaraan, melainkan apa-apa yang tersembunyi dibalik lahiriaku.

Benda-benda itu berupa tanah bersertifikat menambah kepercayaanku karena status tanah sudah jelas dan pasti secara hukum.

Tanah dan sertifikatnya melebihi ucapan terbuka dari orang-orang yang tidak senang untuk memasang perangkap kejahatan.

Benda-benda tidak memiliki tema perbincangan istimewa karena kelahirannya sesuai dengan kata-kata yang tersembunyi dariku. Sejalan kelahiran orang-orang di tengah terik matahari dan sebagian di malam hari yang bebas dari tekanan kebenaran yang berkedok, membiarkan dirinya melayang bebas tanpa bisik-bisik ria di antara benda-benda.

Kita semestinya bebas dari tekanan sejauh kata-kata itu dapat dipertanggungjawabkan di ruang terbuka. 

Setiap orang tetap menegaskan hasratnya dan tubuh-tubuhnya untuk melihat tanah dan sertifikatnya. Anda belum berkuasa secara kelembagaan, tetapi memiliki benda-benda yang terhitung pada saat perhitungan akan dimulai dari kiri ke belakang. Kata-kata yang sedikit demi sedikit terucap dan terdengar serius dalam olah diskusi.

Saya bergairah untuk memiliki sertifikat tanah, karena bukti hukum sebagai kebenaran yang akan diuji oleh topeng, dusta atau permainan palsu yang pada saatnya akan menjadi kebenaran lain. 

Orang-orang mungkin mengetahui, jika seseorang sesungguhnya mewakili konsistensi yang ditandai kata-kata murni melalu pembagian sertifikat tanah, yang tidak terombang-ambing oleh pasang surutnya kehidupan lantaran ketidakpastian status kepemilikan tanah.

Bahasa akhirnya tidak hanya mengambil bagian dalam teknik pembeberan dari teks tertulis dalam sertifikat tanah.

Tetapi juga, ia menelanjangi setiap kata yang diselipkan dalam celah dan retakan benda-benda, dan menyebarkannya ke tiap titik dan jurang di antara sesuatu yang tidak dimiliki bebatuan, dedaunan, tumbuh-tumbuhan, dan perairan.

Tidak ada yang bisa dibicarakan tentang luasnya lahan jika desakan kuat untuk mengambil kebenaran tanpa kedok apapun di balik benda-benda. Mungkin tidak ada manfaatnya untuk memperhitungkan keuntungan apa yang saya peroleh darinya, sama dengan atau saling berganti menyenangi tanah dengan sertifikatnya.

Masyarakat masih memiliki satu pilihan untuk menentukan pertimbangan lain melalui logika perhitungan ekonomi, dimana terdapat celah yang masih dikeluarkan aturan-aturan pengecualian dari Anda. Larangan-larangan tentu akan menghilang di balik kata-kata murni dari regulasi yang dibuat secara kelembagaan. 

Tidak ada yang menjemukan dalam pembagian sertifikat tanah.

Tidak diragukan lagi, perbincangan terbuka bukanlah pusat perhatian dari peraturan resmi, tanpa pengecualian mengelilingi tanah yang memenuhi syarat pemilikan sertifikat.

Bahwa kita tidak bebas berbicara tentang hal-hal yang menjadi keresahan, kecuali apa-apa yang dikehendaki rezim kuasa seiring hasrat untuk mengetahui benda-benda melalui bahasa yang dibentuk dan dikontrolnya sendiri.

Kata lain, kita akan bisa menentukan pilihan bebas pada setiap tema, pernyataan dan logika tidak menjurus pada status kepemilikan tanah di luar lembaga kuasa negara, yaitu perseorangan, korporasi atau swasta. 

Status itu dengan kata-kata yang menjamin kita dapat berbicara apa-apa saja di bawah jaringan sensor dan kesenangannya.

Hasil sertifikat kepemilikan tanah, berupa lahan itulah menempatkan orang untuk tidak membicarakan secara terbuka dalam kesewenang-wenangan bahasa. Karena itu, kuasa adalah bahasa itu sendiri.

Kita mungkin mengetahui cara untuk memiliki sertifikat tanah melalui buku-buku peraturan perundang-undangan, televisi, koran, media sosial atau internet. Sebagaimana kita ketahui, bahwa jenis-jenis larangan memiliki tanah tanpa bukti sah secara hukum melalui sertifikat. 

Benda-benda kasat mata berupa tanah atau wujud lainnya yang disembunyi bersama ritual-ritual kuasa negara melalui penyerahan secara simbolis pemerintah.

Pembatasan kepemilikan tanah akibat tidak ada bukti secara administratif, seperti sertifikat tanah. Sertifikat tanah merupakan salah satu strategi kuasa negara lebih saling berhubungan satu sama lain. Sang pemilik sertifikat tanah saling menopang eksistensi dan saling membentuk jaringan ke dalam dan ke luar satu dengan lain melalui jaringan yang sangat terbuka dan jelas.

***

Tetapi, sekian banyak penerima manfaat sertifikat tanah tidak sekadar berterima kasih atas layanan primanya. Mereka juga ingin berbicara. Batin mereka belum plong selama belum berbicara polos.

Apa-apa yang ‘dibicarakan’ dan ‘dipikirkan’ tentang tanah berakhir dengan bukti pemilikan sertifikat. Sang pemilik sertifikat menguatkan wilayah di mana jaringan kuasa atas tanah, antara petani dan korporasi tersebar dengan celah-celah yang banyak menyerang kesuburan tanah, tanpa pestisida, melainkan terampas akibat korban pemanfaatan dan keberlanjutan lahan.

Jadi, tanah diproduksi dari sejengkal demi sejengkal hingga kata-kata dan benda-benda tidak mampu menahannya. Kemiripan yang cukup menjadi kemungkinan-kemungkinan munculnya bahaya konflik. Pudarnya pemanfaatan dan keberlanjutan lahan secara produktif menandakan tidak ada lagi pembicaraan mengenai anugerah.

Dalam pemikiran modern, tubuh murni adalah cermin dari tanah. Ketidakstabilan tanah memengaruhi tubuh murni kita, dimana gizi dan vitamin dari hasil tumbuh-tumbuhan dan hewan tidak dapat menyembunyikan dirinya dari eksistensi tanah. Tanah adalah anugerah sebagaimana tubuh menampilkan hal-hal menarik perhatian.

Tetapi, kakiku nampak masih tersandung di tanah, dimana lahan subur dan produktif di dalamnya membangunku dari mimpi yang terberi memutus rantai pemilikan dan penguasaan. Benda-benda kasat mata tidak berasal dari penciptaan tanah, rahasia-rahasianya diganti dengan kesatuan garis dan celah memberinya jarak.

Sertifikat tanah seakan-akan menjalin hubungan dengan tanda, desahan, peran, dan rahasia yang terkandung didalamnya. Suatu pengelolaan bahan baku, tempat dimana transaksi jual beli bukanlah sistem yang rapuh. Bahasa telah mengeluarkan dirinya dari titik persembunyian dan ketidaknampakan setiap teka-tekinya.

Logika dan metafora yang tidak kecil dinilai lahan merupakan jalinan yang serasi dengan susunan epistemologi yang membuat tingkatan rumus dan urutan analisis menjadi bangunan pengetahuan yang kembali bersembunyi di balik bahasa dalam benda. Lahan sebagai bahasa yang tidak penting diketahui selama bahasa bukanlah apa-apa.

Ia hanya satu bahasa yang masih terjalin dengan banyaknya logika. Penguasaan lahan yang menjadi mode wujud tanah teregulasi melalui ketentuan dari hak guna usaha meletakkan benda-benda terkuak nilai dan harga. Obyek-obyek tanah menggunakan alur bahasa dan tanda-tanda kekayaan dari minyak, emas, tembaga, perak, aneka flora, dan fauna.

Berbicara tidak mematuhi alur cerita berdasarkan indikator kesejahteraan dari orang-orang tidak memiliki secuil harta, kecuali celah tanah dari sedikit orang yang tidak ingin menjadi tuna wisma. Pembicaraan ada saatnya datang dari awal, saat lain sebagai akibat keterjalinan antara keadministrasian tanah dan kuasa negara (BPN).

Para peneliti, analis, pengambil kebijakan, ahli biologi, zoologi, botani, ahli pertambangan, ahli ekonomi, sejarawan, dan aktifis membicarakan mengenai lahan agar kita tidak hanya mampu berkeluh kesah atas rentetan peristiwa penyerahan sertifikat tanah. Cara penulisan sertifikat tanah tidak lebih dari benda-benda dan kata-kata tidak terbungkam dalam pembicaraan di sekitar kita. Lahan adalah penulisan benda-benda.

Bahasa tentang tanah bukan untuk dibicarakan sesuai kata-kata, terutama melalui tulisan dikendalikan oleh pihak luar, dari pembaca atau khalayak umum (jaringan kuasa menyebar ke sel-sel, dari negara hingga keluarga). 

Pada suatu saat, ketidakhadiran sertifikat tanah membuat orang-orang akan direnggut oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Bahwa pemanfaatan lahan ditujukan untuk kegiatan bidang infrastruktur, perkebunan, pertambangan, kehutanan, properti, pertanian, dan perikanan-kelautan menjadi kata-kata lainnya.

Sebelum kata-kata lahan menegaskan realitas materinya akan terjatuh dalam kekosongan. Suatu lahan yang tidak direfleksikan hanyalah produksi kekosongan. Lahan subur, berpori dan berhumus dengan beribu-ribu hektar luasnya akan menentang gelapnya di ‘sisi dalam’. Tetapi, tanah yang berpori bukanlah kekosongan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun