Sertifikat tanah seakan-akan menjalin hubungan dengan tanda, desahan, peran, dan rahasia yang terkandung didalamnya. Suatu pengelolaan bahan baku, tempat dimana transaksi jual beli bukanlah sistem yang rapuh. Bahasa telah mengeluarkan dirinya dari titik persembunyian dan ketidaknampakan setiap teka-tekinya.
Logika dan metafora yang tidak kecil dinilai lahan merupakan jalinan yang serasi dengan susunan epistemologi yang membuat tingkatan rumus dan urutan analisis menjadi bangunan pengetahuan yang kembali bersembunyi di balik bahasa dalam benda. Lahan sebagai bahasa yang tidak penting diketahui selama bahasa bukanlah apa-apa.
Ia hanya satu bahasa yang masih terjalin dengan banyaknya logika. Penguasaan lahan yang menjadi mode wujud tanah teregulasi melalui ketentuan dari hak guna usaha meletakkan benda-benda terkuak nilai dan harga. Obyek-obyek tanah menggunakan alur bahasa dan tanda-tanda kekayaan dari minyak, emas, tembaga, perak, aneka flora, dan fauna.
Berbicara tidak mematuhi alur cerita berdasarkan indikator kesejahteraan dari orang-orang tidak memiliki secuil harta, kecuali celah tanah dari sedikit orang yang tidak ingin menjadi tuna wisma. Pembicaraan ada saatnya datang dari awal, saat lain sebagai akibat keterjalinan antara keadministrasian tanah dan kuasa negara (BPN).
Para peneliti, analis, pengambil kebijakan, ahli biologi, zoologi, botani, ahli pertambangan, ahli ekonomi, sejarawan, dan aktifis membicarakan mengenai lahan agar kita tidak hanya mampu berkeluh kesah atas rentetan peristiwa penyerahan sertifikat tanah. Cara penulisan sertifikat tanah tidak lebih dari benda-benda dan kata-kata tidak terbungkam dalam pembicaraan di sekitar kita. Lahan adalah penulisan benda-benda.
Bahasa tentang tanah bukan untuk dibicarakan sesuai kata-kata, terutama melalui tulisan dikendalikan oleh pihak luar, dari pembaca atau khalayak umum (jaringan kuasa menyebar ke sel-sel, dari negara hingga keluarga).Â
Pada suatu saat, ketidakhadiran sertifikat tanah membuat orang-orang akan direnggut oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Bahwa pemanfaatan lahan ditujukan untuk kegiatan bidang infrastruktur, perkebunan, pertambangan, kehutanan, properti, pertanian, dan perikanan-kelautan menjadi kata-kata lainnya.
Sebelum kata-kata lahan menegaskan realitas materinya akan terjatuh dalam kekosongan. Suatu lahan yang tidak direfleksikan hanyalah produksi kekosongan. Lahan subur, berpori dan berhumus dengan beribu-ribu hektar luasnya akan menentang gelapnya di ‘sisi dalam’. Tetapi, tanah yang berpori bukanlah kekosongan.