berbicara atau ‘keterusterangan berbicara’ di tengah keanehan permainan kebenaran.
Kita mencoba menggunakan satu persfektif Foucaldian mengenai ketidaktakutanKeterusterangan berbicara dari kalangam intelektual muda atau mahasiswa diperlukan untuk mengakhiri kondisi "memble" atau "sariawan" yang menimpa diri mereka.
Kemudian, saya memilih frasa 'keterusterangan berbicara', karena bisa dikatakan peran mahasiswa untuk melakukan kontrol sosial belum begitu menukik.
Kontrol sosial merupakan saluran keterusterangan berbicara, diantaranya ditujukan terhadap ‘redupnya’ aura Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga anti korupsi terdepan.
KPK dinilai oleh publik masih dianggap "tebang pilih" terhadap kasus korupsi yang melibatkan orang berpengaruh, seperti pejabat negara. KPK masih "terpeleset" ditandai dengan perlakuan "manja" atas sebagian tersangka korupsi.
Meskipun bukan satu-satu tersangka korupsi di negeri ini, tetapi masih ada perlakuan yang berbeda selama berlangsung proses hukum. Misalnya, pucuk pimpinan KPK bertemu empat mata dengan tersangka korupsi di suatu tempat.
Sebagaimana diberitakan oleh detik.com (03/11/2022), ketika gestur Firli Bahuri, Ketua KPK berjabat tangan dengan Lukas Enembe, Gubernur Papua, tersangka korupsi suap dan gratifikasi APBD di kediamannya mengundang tanda tanya.
Sebelum sorotan publik ke Ketua KPK, acungan jempol ke mahasiswa sebagai intelektual muda bersuara lantang tentang soal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di tengah hidup susah.
Daripada tidak sama sekali, lebih baik menyuarakan aspirasi masyarakat. Saya seperti agak tersendat suara di kerongkongan, ketika menyebut massa mahasiswa sudah berbeda sejak Mei 1998?
Bisa jadi, ‘redupnya’ aura KPK sebagai akibat dari pengesahan oleh DPR RI tentang Revisi Undang-Undang KPK RI.
Kini, bendera Merah Putih nampak masih samar-samar penampakan “berkibar setengah tiang” di depan halaman kantor KPK. Setelah pegesahan Revisi UU KPK akan menuju simbol kematian akan keadilan, kematian akan institusi anti korupsi di tanah air.