Tetapi, faktor-faktor tersebut tidak menyentuh akar-akar permasalahan yang sesungguhnya itu mendesak pencarian jalan keluarnya. Masyarakat atau umat di era digital tidak memadai jika hanya melalui suguhan fatwa-fatwa, yang bertujuan untuk melegitimasi peran dan tanggungjawab MUI sebagai 'benteng' utama, yang diarahkan terhadap  kemaslahatan maupun kekuatan moral dalam kehidupan dengan seluruh aspeknya.
Termasuk bagaimana MUI bisa menemukan suatu cara 'yang tidak lazim' untuk mengatasi permasalahan yang relatif lama, tetapi dikemas dengan jawaban yang baru dalam kehidupan dan pemikiran di era citra artifisial.
Kita memang harus mengakui keberadaan MUI bersama tugas dan tanggungjawab yang cukup berat, secara normatif tidak membiarkan individu dan kolektif kehilangan kontrol diri hingga menabrak rambu-rambu ketertiban sosial dan melanggar batas-batas norma agama begitu saja, yang berlindung di belakang kebebasan.Â
MUI tidak bisa dipungkiri tatkala seruan kabajikan dalam bentuk fatwa, yang secara verbal dan simbol hanya sebatas dipahami oleh masyarakat luas.Â
Ajakannya lazim masih berorientasi dan bersifat 'teologis' menghadapi 'masyarakat tele-media' (diantaranya medsos, internet) dan dalam pemahaman masyarakat bercampur-aduk antara hal-hal sederhana, sesuatu yang konkrit dan hal-hal mistik atau sesuatu yang irasional.
Bentuk kesaksian atas keberadaan MUI dengan tugas dan tanggungjawab.Â
Platform atau konsep dasar perjuangannya sebagai pembawa kebenaran ilahi, penyeru pada jalan keselamatan dunia dan akhirat mesti didukung oleh ide dan kreatifitas 'baru' untuk menghadapi tantangan zaman yang kian kompleks dan paradoks apa-apa yang dimuatinya di era disrupsi.
Istilah lain, seperti era pasca-kebenaran dan era pasca-manusia, yang sedang atau akan digeluti bersama turut memengaruhi gaya atau varian terorisme di masa mendatang.
Belum beranjaknya MUI dari penggunaan metodologi fatwa yang masih lazim, maka ada kemungkinan karena belum mencapai titik penemuan sebuah model penafsiran atau pemikiran 'baru', yang utuh dan menyeluruh untuk menjangkau cara berpikir lain lagi berbeda menyangkut kedalaman dan keluasan permasalahan yang sedang kita hadapi.
Jasser Auda, pemikir muslim kontemporer mencoba untuk membangun sebuah kerangka pengetahuan hukum Islam dengan sebuah 'pendekatan sistem' dalam Maqasid Al-Shariah As Philosophy of Islamic Law, A System Approach (2007). Perbandingan konsep dan tema pemikiran menyangkut kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja terjadi secara institusional, saat MUI serius membangun sebuah sistem pengetahuan.Â
Katakanlah, terorisme dan aksi yang dilancarkannya memungkinkan bisa menjadi obyek pengetahuan, yang hasil studi atau analisnya kelak bermuara sebagai bahan masukan dan pengayaan substansi dalam sebuah rancangan fatwa MUI sebelum dikonsultasikan ke masyarakat, sekaligus menjadi bahan masukan bagi kebijakan negara dalam kaitannya dengan penanggulangan terorisme secara sistematis dan terencana.