Ketika manusia belum mengetahui akan tubuhnya, saat itu mereka mulai mempercayai bahwa segala aktivitas-aktivitas mereka, pikiran dan perasaan mereka tidaklah dikendalikan oleh tubuh mereka, melainkan suatu nyawa yang ada dalam tubuh mereka dimana nyawa itu akan berpisah dengan tubuh mereka ketika mereka meninggal.
Sejak itu, manusia didorong untuk memikirkan akan hubungan nyawa dengan dunia luar. Lalu timbulah ide tentang kekekalabadian. Jika nyawa itu sudah berpisah dengan tubuh mereka ketika meninggal, timbullah kebingungan pikiran apa yang harus diperbuat terhadap nyawa itu. Disaat inilah ide akan kekekalabdian ini justru dianggap sebagai takdir yang bagi mereka yang membawa malapetaka yang mungkin tiada guna bagi mereka untuk mengadakan suatu perlawanan
Sistem persembahan ini senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan hidup manusia. Seperti apa yang dikatakan oleh Friedrich Lists, perkembangan manusia ialah tahapan yang evolusioner dimana ia dimulai dari fase hidup berburu, lalu beternak, kemudian bercocok tanam.
Ketika manusia mengalami fase hidup berburu; petir, matahari, sungai, menjadi sesembahan bagi manusia untuk menolong mereka dalam berburu. Cara hidup manusia pada masa itu mempengaruhi alam pikiran dan sesembahannya. Demikianlah anggapan masyarakat Indonesia sederhana yang menganggap bahwa alam sekitarnya memiliki jiwa seperti halnya manusia.
Sistem penyembahan ini berubah ketika manusia memasuki fase hidup beternak. Oleh karena manusia mulai menyadari bahwa hewan yang diburu itu lalu dipelihara untuk menghasilkan sesuatu, Tuhannya pun berubah. Saat manusia memasuki fase hidup bercocok tanam, mereka mulai menyembah kepada Dewi Laksmi, Dewi Sri.
Dengan hawa tropika ini, tentu mereka tanpa memutar otak lagi untuk menanamnya. Sebuah kayu saja yang ditancap di tanah tentu akan menjadi tanaman singkong. Bangsa Indonesia adalah yang pertama kali mengenal bercocok tanam di dunia terutama di daerah yang subur untuk menghasilkan padi.[1] Oleh karena itulah masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang agraris. Cara penyembahan ini pada akhirnya menurut Yudi Latif (2010) membentuk sistem keagamaan yang bersifat politeistik.[2]
Fase kehidupan manusia yang senantiasa berkembang silih berganti hanyalah tingkat peralihan dalam proses perkembangan masyarakat yang tidak pernah berakhir dari tingkat yang lebih rendah sampai ke tingkat yang lebih tinggi. Setiap tingkat ini memerlukan syarat-syarat baru untuk bisa mencapai tingkatan yang lebih tinggi. Namun ketika syarat-syarat ini berhadapan dengan syarat-syarat yang baru, ia harus terpaksa menyerah dan akhirnya menjadi lapuk.
Maka filsafat dialektik berhasil menyingkap tabir bahwa tiada sesuatu yang dapat bertahan menghadapi syarat-syarat yang lebih baru jikalau itu tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat itu, kecuali hanya meninggalkan proses kehancuran dan berlangsung tiada putusnya. Dalam proses perkembangan masyarakat, tingkatan pengetahuan dan masyarakat hanya bisa dibenarkan untuk masanya sejauh masa itu saja.
Pancasila sebagai salah satu pandangan hidup bangsa Indonesia, tidak pernah lepas dari pengaruh nilai agama dalam masing-masing sila. Agama selain mengatur bagaimana manusia berhubungan Tuhan, juga mengatur bagaimana hubungan antar manusia dan alam. Untuk itulah dalam Islam, kita mengenal konsep hablum minallah, hablum minannas, dan hablum minal alam.
Islam sebagai sebuah agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia menggunakan Al-Quran sebagai kitab suci mereka. Walaupun sebagai sumber syariat, tidak hanya Al-Quran saja, tetapi juga menggunakan Hadits, Ijma' dan Qiyas.
Dalam Al-Quran, penjelasan sila pertama kita temukan dalam Q.S. Al-Ikhlas ayat 1 yang berbunyi: