Mohon tunggu...
Erlangga Danny
Erlangga Danny Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang yang bermimpi jadi penulis

Wat hebben we meestal doen, bepalen onze toekomst. Daardoor geschiedenis is een spiegel voor toekomst. Leben is een vechten. Wie vecht niet, hij zalt in het gedrang van mensen verpletteren.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sila Ketuhanan dalam Perspektif Islam

10 Agustus 2021   21:10 Diperbarui: 10 Agustus 2021   21:58 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Manusia ialah homo socius. Ia tidak bisa hidup tanpa pertolongan orang lain. Salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh manusia ialah dapat berbicara untuk berkomunikasi dengan yang lain. Namun diluar itu, manusia juga memerlukan sesuatu diluar dirinya. Maka, manusia memerlukan kebutuhan tidak hanya fisik saja, melainkan pula kebutuhan eksistensi.

Untuk mengatasi gangguan keamanan, manusia memerlukan dua aspek, pertama aspek fisik dan kedua ialah aspek eksistensial. Aspek fisik terdiri dari makan, obat-obatan dan tubuh yang kuat untuk menghadapi lawan. Aspek eksistensial bertujuan untuk mengembangkan sarana yang bersifat immateriil yang dapat menjadi perekat dalam kehidupan bermasyarakat.

Rasa cinta kasih dan sikap kebersamaan yang ada dalam diri setiap manusia adalah hal yang dapat menggerakkan akal dan pikiran manusia untuk menciptakan pranata-pranata dalam kehidupan bermasyarakat.

Pranata ialah suatu sistem dimana dalam sistem tersebut terdapat peraturan-peraturan. Pada dasarnya, manusia hidup dalam bermasyarakat senantiasa berpranata, artinya segala sesuatu tindakan dan perilakunya selalu diatur menurut cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama.

Dilihat dari tujuannya, pranata terdiri dari dua macam, yakni pranata spiritual dan pranata norma. Pranata spiritual inilah yang berkaitan dengan hubungan antara masyarakat dengan sesuatu yang ada diluar dirinya. Sesuatu ini yang disebut sebagai Tuhan oleh manusia sebagai sesuatu penolong bagi mereka.

Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga, berbunyi:

"Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan berkebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini, kemerdekaannya."

Ini menyiratkan rasa syukur perjuangan bangsa Indonesia dalam berhasilnya tuntutan politiknya sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Keberadaan Tuhan dalam sejarah perkembangan masyarakat Indonesia ialah sesuatu yang inheren sejak dahulu.

Dengan rasa syukur ini, bangsa Indonesia memiliki suatu kewajiban moral yang harus dipikul untuk mewujudkan suatu bangunan ideal masa depan, suatu tatanan dengan terciptanya suasana masyarakat yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur dengan bertanggung jawab kepada Tuhan sebagai makhluk-Nya. Tentunya perasaan ini yang membedakan bangsa Indonesia dengan yang terjadi di negara Eropa.

Manusia ialah makhluk yang senantiasa merenungkan kehidupan. Sebagai makhluk yang berakal dan bernafsu, manusia tidak pernah merasa puas terhadap segala keadaan yang terjadi. Ia senantiasa mencari tahu segala apa yang terjadi di sekitarnya hingga mencapai kebenaran yang hakiki. Bagi manusia yang belum berilmu, alam ialah sesuatu ajaib yang jatuh begitu saja. Ia adalah tempat untuknya untuk hidup, ditakuti, dan keramat baginya. Timbullah kepercayaan dalam dirinya akan kekuatan alam.ini.

Sejak zaman batu hingga masa kebudayaan perunggu, rasa ketuhanan masyarakat Indonesia diwujudkan dalam bentuk kepercayaan terhadap animinsme dan dinamisme. Animisme ialah suatu kepercayaan dimana roh manusia yang telah meninggal memiliki kekuataan untuk menguasai alam. Bahkan mereka juga memiliki kepercayaan apabila roh itu bisa masuk ke dalam tubuh hewan tertentu untuk menguasai hewan itu. Sistem kepercayaan ini dibarengi dengan sistem kepercayaan dinamisme, dimana ia ialah suatu kepercayaan terhadap suatu benda tertentu yang memiliki kekuataan tertentu.

Ketika manusia belum mengetahui akan tubuhnya, saat itu mereka mulai mempercayai bahwa segala aktivitas-aktivitas mereka, pikiran dan perasaan mereka tidaklah dikendalikan oleh tubuh mereka, melainkan suatu nyawa yang ada dalam tubuh mereka dimana nyawa itu akan berpisah dengan tubuh mereka ketika mereka meninggal.

Sejak itu, manusia didorong untuk memikirkan akan hubungan nyawa dengan dunia luar. Lalu timbulah ide tentang kekekalabadian. Jika nyawa itu sudah berpisah dengan tubuh mereka ketika meninggal, timbullah kebingungan pikiran apa yang harus diperbuat terhadap nyawa itu. Disaat inilah ide akan kekekalabdian ini justru dianggap sebagai takdir yang bagi mereka yang membawa malapetaka yang mungkin tiada guna bagi mereka untuk mengadakan suatu perlawanan

Sistem persembahan ini senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan hidup manusia. Seperti apa yang dikatakan oleh Friedrich Lists, perkembangan manusia ialah tahapan yang evolusioner dimana ia dimulai dari fase hidup berburu, lalu beternak, kemudian bercocok tanam.

Ketika manusia mengalami fase hidup berburu; petir, matahari, sungai, menjadi sesembahan bagi manusia untuk menolong mereka dalam berburu. Cara hidup manusia pada masa itu mempengaruhi alam pikiran dan sesembahannya. Demikianlah anggapan masyarakat Indonesia sederhana yang menganggap bahwa alam sekitarnya memiliki jiwa seperti halnya manusia.

Sistem penyembahan ini berubah ketika manusia memasuki fase hidup beternak. Oleh karena manusia mulai menyadari bahwa hewan yang diburu itu lalu dipelihara untuk menghasilkan sesuatu, Tuhannya pun berubah. Saat manusia memasuki fase hidup bercocok tanam, mereka mulai menyembah kepada Dewi Laksmi, Dewi Sri.

Dengan hawa tropika ini, tentu mereka tanpa memutar otak lagi untuk menanamnya. Sebuah kayu saja yang ditancap di tanah tentu akan menjadi tanaman singkong. Bangsa Indonesia adalah yang pertama kali mengenal bercocok tanam di dunia terutama di daerah yang subur untuk menghasilkan padi.[1] Oleh karena itulah masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang agraris. Cara penyembahan ini pada akhirnya menurut Yudi Latif (2010) membentuk sistem keagamaan yang bersifat politeistik.[2]

Fase kehidupan manusia yang senantiasa berkembang silih berganti hanyalah tingkat peralihan dalam proses perkembangan masyarakat yang tidak pernah berakhir dari tingkat yang lebih rendah sampai ke tingkat yang lebih tinggi. Setiap tingkat ini memerlukan syarat-syarat baru untuk bisa mencapai tingkatan yang lebih tinggi. Namun ketika syarat-syarat ini berhadapan dengan syarat-syarat yang baru, ia harus terpaksa menyerah dan akhirnya menjadi lapuk.

Maka filsafat dialektik berhasil menyingkap tabir bahwa tiada sesuatu yang dapat bertahan menghadapi syarat-syarat yang lebih baru jikalau itu tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat itu, kecuali hanya meninggalkan proses kehancuran dan berlangsung tiada putusnya. Dalam proses perkembangan masyarakat, tingkatan pengetahuan dan masyarakat hanya bisa dibenarkan untuk masanya sejauh masa itu saja.

Pancasila sebagai salah satu pandangan hidup bangsa Indonesia, tidak pernah lepas dari pengaruh nilai agama dalam masing-masing sila. Agama selain mengatur bagaimana manusia berhubungan Tuhan, juga mengatur bagaimana hubungan antar manusia dan alam. Untuk itulah dalam Islam, kita mengenal konsep hablum minallah, hablum minannas, dan hablum minal alam.

Islam sebagai sebuah agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia menggunakan Al-Quran sebagai kitab suci mereka. Walaupun sebagai sumber syariat, tidak hanya Al-Quran saja, tetapi juga menggunakan Hadits, Ijma' dan Qiyas.

Dalam Al-Quran, penjelasan sila pertama kita temukan dalam Q.S. Al-Ikhlas ayat 1 yang berbunyi:

قُلْ هُوَ اللّٰهُ أَحَدٌ

Artinya: Katakanlah, Dialah Allah Yang Maha Esa

Ibnu Katsir ketika menjelaskan makna ayat ini dalam tafsirnya mengatakan bahwa Allah swt itu satu dan Esa, tidak ada yang menyamai-Nya, tidak memiliki pembantu, tidak ada yang sepadan, tidak ada yang menyerupai-Nya, tidak ada yang sebanding dengan-Nya. Lafadz ini, tidak dinisbatkan kepada selain Allah swt dikarenakan Dialah yang memiliki kesempurnaan dalam sifat-Nya dan perbuatan-Nya.[3] 

Hal ini pula dikatakan oleh Ibnu Abbas dalam tafsirnya dengan mengisahkan bahwa ketika itu ada orang Quraisy yang bertanya kepada Rasulullah s.a.w agar menjelaskan kepada mereka tentang sifat Rabbnya. Maka turunlah surat ini sebagai jawaban atas pertanyaan mereka bahwa Allah swt adalah Esa.[4] 

Mengetahui hakekat Tuhan merupakan sesuatu yang penting bagi manusia. Cara mengetahuinya ialah mempersenjatai diri dengan ilmu. Semakin tinggi ilmu seseorang dalam mengenal Tuhan, maka bisa memungkinkan tumbuh rasa cinta terhadap Tuhan.

Rasa cinta terhadap Tuhan ini akan berdampak pada perilaku seorang hamba dalam hidup sehari-hari. Rasa cinta ini tentu dibarengi dengan hati yang ikhlas. Hati yang ikhlas bisa dimunculkan dari niatnya.

Karena mempelajari ilmu hakekat Tuhan tanpa niat tulus, tidak akan mampu menumbuhkan rasa cinta terhadap Tuhan. Ilmu yang mempelajari bagaimana hakekat Tuhan dalam Islam disebut sebagai Ilmu Tauhid. Bekal ilmu Tauhid inilah yang bisa menjadi pondasi iman seorang muslim dalam beragama.

Oleh karena itulah, mengapa sila pertama Pancasila diletakkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini menyiratkan bahwa bangsa Indonesia, agar dalam berhubungan antar manusia, timbul rasa perikemanusiaan sebagai wujud pelaksanaan perintah Tuhan melalui kitab suci masing-masing agama. Dari rasa perikemanusiaan yang kokoh, muncul rasa persatuan.

Bangsa Indonesia dari sejak dahulu selalu mengambil keputusan dengan musyawarah. Nah, tentu musyawarah ini bisa terjadi manakala didalamnya tercipta rasa persatuan. Dari musyawarah itu nanti, hasil dari keputusan bisa tercipta rasa keadilan bila didasarkan kebersamaan antar manusia sebagai tanggung jawab moral terhadap Allah swt.

Catatan kaki

  1. Sistem bercocok tanam terlebih dahulu dikenal di Indonesia terutama di daerah yang subur untuk menghasilkan padi, seperti Jawa, Bali, dan Sumatera. Ketika Eropa alamnya masih dalam bentuk hutan, justru bangsa Indonesia telah mengenalnya lebih dahulu. Bahkan wayang kulit sudah dikenal lebih dahulu di Indonesia.
  2. Untuk penjelasan yang lebih lengkap mengenai sila ketuhanan, lihat Soekarno, Pantja-Sila sebagai Dasar Negara, Jilid 1, (Jakarta: Kementerian Penerangan RI, 1958a).
  3. Abu Fida' Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir Al-Quranul Adzim, juz 8, Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, hlm. 497.
  4. Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibnu Abbas, cet. ke-1, Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, hlm. 662.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun