Mohon tunggu...
Erik nugroho
Erik nugroho Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Belum bekerja

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pembaruan Hukum Perdata Islam

18 Maret 2024   23:25 Diperbarui: 19 Maret 2024   00:01 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

- Dasar dari lembaga talak

- Salah satu sebab keberhakan dalam waris

- Lahirnya hubungan nasab

- dan lain-lain.

   Pada prinsipnya, pernikahan dicanangkan bukan sebagai piranti ekonomi bahwa rumah tangga didominasi oleh kegiatan berkaitan dengan atau menghasilkan sesuatu yang bernilai harta benda, melainkan terbentuknya rumah tangga dalam balutan energi-energi positif psikologis, berupa ketenangan (sakinah), cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Bahwa kemudian suami berkewajiban menghidupi (memenuhi kebutuhan pangan sandang dan papan bagi istri dan anak), bukan merupakan muatan utama, namun merupakan konsekuensi logis yang harus dilakukan oleh kaum suami. Sehingga harta yang diperoleh selama perkawinan bersifat assesoir guna membangun kebahagiaan rumah tangga, bukan sebaliknya membangun rumah tangga untuk meraup harta benda sebanyak-banyaknya.  

  Hal ini karena memang salah satu indikasi dari adanya ketenangan dan kenyamanan dalam rumah tangga adalah adanya penopang kehidupan secara wajar yang tercakup dalam nafkah itu. Sehingga tidak adanya nafkah atau suami yang tidak mampu memenuhi kewajiban nafkah. kemudian dapat menjadi alasan bahwa rumah tangga dan pernikahan itu dapat diakhiri (kecuali kalangan Hanafiyah). Dalam situasi yan sedemikian itulah, apalagi dalam kuantitas kasus yang banyak di tengah- tangah kehidupan rumah tangga manapun, maka pernikahan dan rumah tangga cenderung dirasakan sebagai wahana ekonomis, sementara cintadan kasih sayang hanya sebagai assesoir. Sehingga semakin ke sini, cita rasa perkawinan didominasi oleh tuntutan hak ekonomis, lalu runtuhnya rumah tangga kemudian berujung pada sengketa ekonomi.


  Dalam gambaran klasik masyarakat muslim (klasik tidak berarti tidak laik guna), sebagaimana yang dapat diraba dalam piranti hukumnya dalam fikih-fikih tradisional, akan memunculkan gambaran bahwa seorang perempuan yang dinikahi itu hanya perlu berbekal diri apa adanya. Ia tidak perlu khawatir tentang bagaimana menjalani kehidupan terkait pemenuhan kebutuhan makan, pakaian, dan tempat tinggal, karena saat ia dinikahi seorang pria, maka kehidupan perempuan itu seutuhnya berada dalam naungan tanggung jawab (ihtibas/dzimmah) pria yang menjadi suaminya itu. Sehingga istri pada dasarnya menjadi raja dalam rumah tangga, bahwa ia berhak menuntut hak-haknya sejauh dalam lingkup nafkah sebagai kewajiban suaminya. Suami harus memastikan bahwa setiap hari ada makanan untuk istrinya. Sebagaimana istri harus memastikan seluruh sikapnya berada dalam naungan ketaatan yang utuh untuk suaminya.  

  Sehingga dengan demikian, kalaupun dalam perkawinan itu, istri lalu mendapatkan harta benda, jalurnya hanyalah melalui nafkah. Setidak-tidaknya, selama pernikahan hak-hak itu dapat ia kumpulkan. Kecuali tempat tinggal yang memang berlakunya selama menjadi istri saja. Kalaupun diperpanjang, hanya dalam situasi istri ditalak dalam keadaan hamil, sampai kemudian ia melahirkan. Maka pemilahan terhadap harta benda dalam perkawinan sesungguhnya telah teramat jelas. Bahwa selama pernikahan, yang punya harta itu suami. Dan istri dapat memiliki harta lewat jalur nafkah, mahar, pemberian suaminya/hibah, dll. Apalagi, dalam konteks klasik ini, beban tanggung jawab nafkah (masul) itu ada di pundak suami, dan istri hanya bersifat menerima dan kehidupannya terjamin (makful) oleh suaminya. Istri tak perlu ikut campur tentang hal itu. Dalam situasi keterjaminan itu tidak ada, istri dapat menggunakan haknya meminta fasakh (putusnya perkawinan oleh hakim).

    Hanya saja, posibilitas harta bersama menjadi perkara dalam perkawinan, dalam pandangan klasik ini dapat terjadi dalam kondisi istri dinikahi dalam keadaan mapan secara ekonomi. Memiliki harta benda, lalu selama perkawinan terjadi percampuran harta dengan suaminya (ikhtilathu malizzaujaini). Sehingga bukan harta yang muncul dalam kapasitasnya sebagai istri, tetapi harta yang muncul dalam kapasitas istri sebagai pribadi. Tidak akan ada kajian yang memadai menuangkan harta bersama sebagai semua harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Dalam situasi terjadi percampuran harta antara suami dan istri, maka teknis penyelesaiannya jika harta berada di kedua belah pihak lalu tidak diketahui siapa yang paling banyak memiliki harta itu, dapat dilakukan dengan sumpah, lalu dibagi maisng-masing separoh.

    Sehingga pada prinsipnya, tidak ada percampuran harta dalam perkawinan. Kalaupun istri boleh bertindak terhadap harta suaminya tanpa sepengetahuan suaminya, itu atas dasar haknya yang diabaikan suami, lalu dibolehkan mengambil sewajarnya meskipun tanpa sepengetahuan suami. Sebagaimana yang terjadi dalam kasus Hindun dan Abu Sufyan. Kala itu Hindun mengadu ke Rasulullah saw, bahwa Abu Sufyan amat pelit sehingga tidak memberikan nafkah yang mencukupi kebutuhannya dan anaknya, lalu Rasul mengizinkannya mengambil harta suaminya secara diam-diam dalam ukuran yang ma'ruf/wajar.

2. Fase Fikih Kontemporer    

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun