Mohon tunggu...
Erick M Sila
Erick M Sila Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Menulis adalah mengabadikan diri dalam bentuk yang lain di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Belajar dari Nikmatnya Secangkir Kopi #5

12 Januari 2024   21:45 Diperbarui: 12 Januari 2024   22:02 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.canva.com/design

Setiap gerakan disengaja, setiap langkah adalah tarian. Aditya merasakan keselarasan tindakannya dengan cita-cita terdalamnya. Di dunia yang penuh aroma dan suara ini, di tengah kesibukan sehari-hari, dia tidak hanya mengasah keterampilannya tetapi juga pemahaman yang lebih mendalam tentang kehidupan itu sendiri.

Saat ramuan hitam itu menetes ke dalam cangkir, Aditya menggendongnya dengan penuh hormat. Ini bukan hanya kopi; itu adalah inti dari perjalanannya, perwujudan dari kesabaran dan semangat. Dia menghembuskan napas perlahan, membiarkan momen itu bertahan lama, mengetahui bahwa ini lebih dari sekadar pelajaran membuat kopi—ini adalah pelajaran dalam hidup.

Lilis mencondongkan tubuh ke meja, jari-jarinya menelusuri krom mesin espresso dengan rasa hormat yang lembut. “Aditya, espresso itu soal presisi. Setiap variabel penting—ukuran gilingan, suhu air, bahkan tekanan yang Anda berikan saat tamping,” jelasnya, suaranya terdengar seperti bisikan melodi yang hilang di tengah hiruk pikuk kedai kopi.

“Setiap kacang menceritakan sebuah kisah,” lanjutnya, tangannya mengilustrasikan setiap langkah. "Pertama, kita timbang jumlah yang tepat. Dua puluh gram, tidak lebih setitik pun." Dia memberinya timbangan digital yang ramping, matanya berkilau karena tantangan yang tak terucapkan.

Telapak tangan Aditya tiba-tiba terasa berat saat ia mengambil timbangan, pikirannya menyerap kata-katanya seperti tanah berpori yang menunggu transformasinya. Dia meraup kacang, gerakannya mencerminkan keanggunan Lilis, angka pada skala semakin mendekati target dengan setiap sedikit penyesuaian.

"Bagus," Lilis mengangguk, mengamati usahanya yang cermat. "Sekarang, penggiling. Kami menginginkan konsistensi yang halus—seperti gula bubuk, tetapi dengan tekstur yang lebih berpasir."

"Konsistensi," ulang Aditya dalam hati, tatapannya terpaku pada biji yang berputar-putar di penggiling, miniatur kosmos yang dibentuk oleh pedang dan kemauan. Gerindanya menderu, lagu bernada tinggi yang sepertinya selaras dengan detak jantungnya yang semakin cepat.

"Selanjutnya, tampernya," perintahnya sambil menyerahkan tamper itu kepada pria itu—sebuah alat yang tiba-tiba mewakili lebih dari sekedar fungsinya yang sederhana. "Berikan tekanan secara merata; itu adalah fondasi untuk segala sesuatu yang terjadi selanjutnya."

Aditya memposisikan portafilter, jari-jarinya melingkari pegangan tamper. Dia mendorong ke bawah, membayangkan lapisan tanah rata yang diperlukan untuk ekstraksi sempurna. Pikirannya berputar-putar, mempertanyakan apakah dia bisa menerapkan kekuatan seimbang seperti itu di bidang lain dalam hidupnya.

"Ingat, jangan terburu-buru," pengingat Lilis memotong introspeksi dirinya. "Setiap bagian dari proses ini patut mendapat perhatian penuh Anda."

Ia menghembuskan napas terukur, menyelaraskan aksinya dengan ritme kafe—dengungan pelan percakapan, dentingan cangkir, simfoni kehidupan sehari-hari. Dan di sana, di tengah kekacauan yang terjadi, dia menemukan momen hening.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun