Puisi : Edy Priyatna
Tiada ada batas dapat kutentukan. Pasti tiada terdengar suara desing angin. Terbit kebebasan diri pintar bersilat lidah. Kelompong lampu dirumahpun terlihat temaram. Sabur limbur musim tanpa harus mengejar. Usir dengan berlari tanpa terasa bumi berputar. Pusing pada porosnya membawa harapan. Suara kian jauh angka terus mengangat. Lantik tak pernah habis untuk satu timbul. Selanjutnya lain sudah berkomplot dalam jaringan. Hubungan selaput melibatkan banyak orang. Insan dari kroco hingga majikan.
Bahkan malahan pesuruhpun menumpang. Diam turut berbagai cara dihalalkan. Legal ancala selalu ramah menjadi murka. Meraba dalam gelap tangannya berdarah. Berbakat sejuk serta membara. Antausias maka penting dapat dispensasi. Kecuali dalam menuntut rasa kemanusiaan. Individu penuh perjuangan hidup hingga mati. Hening setiap bala bantuan datang. Kemudian bagi rakyat kebahagiaan pengurus tiba. Menjejakkan kaki masuk ke dalam kalbu. Resah bingung sedia hanya bayangan hitam.
Sekang dongkrak hingga larut mendesak. Menolak lalu aku masuk keperaduan. Tempat tidur ingin kututup semua kesempatan. Giliran kapita melahirkan kecemasan. Kepanikan temperamen tanggal menembus. Menerobos mega putih di langit biru. Safir dengan bergulir secara tak pasti. Tegas maju mundur tiada henti. Mengakhiri sebaliknya sudah jelas terbukti. Kelihatan masih juga lakukan usaha. Bisnis untuk kehidupan adalah bangkit. Semut resah tatkala udara mulai hampa.
(Pondok Petir, 15 Oktober 2019)