Puisi : Edy PriyatnaÂ
Terai sedihku bukan untuk kampung halaman. Namun buat para tukang pembuang limbah. Bekerja setiap hari tanpa alas kaki. Sesaat terluput oleh gundah gulana. Tak mengeluh telapaknya terbakar aspal panas. Ikhlas kulitnya kerap tersengat matahari. Waktu langit tak lagi bentengi awan kelam. Kasta warna biru terang benderang. Angin berlarian mengejar dedaunan. Ilalang bergoyang meliukkan tarian riang. Kitapun berlarian saling menjauh. Pada sudut nan tak terjangkau.
Ketakutan pada kutukan malam. Isak tangisku untuk kedua telapak kakinya. Karena di sini banyak pemegang daerah. Selalu beralas sepatu nan sangat mahal. Tersentuh sedihku juga untuk pakaian usangnya. Akibat oleh sebab dalam lemari ukiran kayu. Gundukan baju licin jarang di pakai pemiliknya. Serentak sendi dan tulang sampingku. Menyebabkan lantar sebongkah guntingan. Berkenaan aku masih tetap tegang. Kawula masih bisa tegak berdiri kesepian. Bagai penaka secercah noktah.
(Pondok Petir, 27 Maret 2019)