Mohon tunggu...
Edy Priyatna
Edy Priyatna Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Kata yang indah adalah keluar dari mulut manismu............... Buku GEMPA, SINGGAH KE DESA RANGKAT, BUKU PERTAMA DI DESA RANGKAT.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Bagai Penaka Secercah Noktah

3 April 2019   11:56 Diperbarui: 25 Oktober 2019   07:41 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi : Edy Priyatna 

Terai sedihku bukan untuk kampung halaman. Namun buat para tukang pembuang limbah. Bekerja setiap hari tanpa alas kaki. Sesaat terluput oleh gundah gulana. Tak mengeluh telapaknya terbakar aspal panas. Ikhlas kulitnya kerap tersengat matahari. Waktu langit tak lagi bentengi awan kelam. Kasta warna biru terang benderang. Angin berlarian mengejar dedaunan. Ilalang bergoyang meliukkan tarian riang. Kitapun berlarian saling menjauh. Pada sudut nan tak terjangkau.

Ketakutan pada kutukan malam. Isak tangisku untuk kedua telapak kakinya. Karena di sini banyak pemegang daerah. Selalu beralas sepatu nan sangat mahal. Tersentuh sedihku juga untuk pakaian usangnya. Akibat oleh sebab dalam lemari ukiran kayu. Gundukan baju licin jarang di pakai pemiliknya. Serentak sendi dan tulang sampingku. Menyebabkan lantar sebongkah guntingan. Berkenaan aku masih tetap tegang. Kawula masih bisa tegak berdiri kesepian. Bagai penaka secercah noktah.

(Pondok Petir, 27 Maret 2019)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun