Mohon tunggu...
Enny Ratnawati A
Enny Ratnawati A Mohon Tunggu... Menulis untuk meninggalkan jejak kebaikan dan menghilangkan keresahan

Enny Ratnawati A. -- Suka menulis --- Tulisan lain juga ada di https://www.ennyratnawati.com/ --- Contact me : ennyra23@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Gaji Pertama, Sebuah Perjalanan Bukan Sekedar Tujuan

28 Mei 2025   11:00 Diperbarui: 27 Mei 2025   10:13 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gaji pertama (kompas.com)

Kehidupan nyata ternyata dimulai dari gaji pertama

Apa yang kalian ingat dari gaji pertama?

Sebenarnya saya menerima uang dari hasil keringat sendiri sejak masih kuliah di  sebuah Universitas tertua di Indonesia, tepatnya  di Yogyakarta. Tentu maksudnya di luar uang bulanan yang dikirimkan orang tua. Sebagai anak kuliah perantauan, kiriman orang tua memang jadi andalan utama saat itu. Orang tua saya sebenarnya bukan tergolong orang berada, hanya PNS, yang saat itu sebenarnya hidupnya tidak berkelimpahan juga. Namun, hebatnya, tak pernah terdengar mengeluh soal uang dan  tak pernah telat mengirimkan uang bulanan ke anaknya di perantauan.

Sebagai anak yang cukup tahu diri dengan kondisi orang tua, saya hampir tak pernah mengeluh juga soal jumlah uang bulanan, walaupun kawan-kawan kos banyak yang nilainya lebih besar. Juga tak pernah  meminta tambahan uang saku. Kalaupun meminta tambahan, itu biasa hanya untuk bayar uang kos per enam bulan sekali atau memang ada buku perkuliahan yang sangat perlu buat dibeli saja. Selebihnya tak ada.

Dikirim tepat waktu, bukan berarti keuangan selalu cukup. Jurus hidup hemat seperti anak kos lainnya tentu saja dilaksanakan. Namun soal keuangan, saya mengakalinya dengan mencari uang tambahan. 

Uang tambahan tentu saja buat sekedari "bersenang-senang" sederhana dengan teman-teman organisasi kampus atau teman kos. Misalnya buat agenda piknik bersama atau sejenisnya. Alhamdulillah saat itu, budaya nongkrong cafe belum terlalu marak seperti saat ini. Kalaupun nongkrong, paling hanya di warung burjo (bubur kacang ijo) atau di warung Intel (Indomie telor)  sekitaran kampus. Kalau uang berlebih sedikit, hanya makan-makan di tempat yang lebih mahal saja. Itupun kebanyakan gratisan karena ada teman yang lumayan kaya dan merayakan ulang tahunnya atau ingin mentraktir saja.

Uang tambahan saat itu, salah satunya saya dapatkan dari menulis di kolom mahasiswa, di koran lokal. Sesekali menulis resensi buku juga di media yang nasional. Saat itu bisa dikatakan media massa masih jaya-jayanya dan masyarakat biasa mendapatkan informasi memang dari media massa, televisi  dan radio saja. Media sosial, sebagai alternatif mencari informasi, tentu belum ada.  

Uang yang diperoleh dari tulisan-tulisan yang dimuat ternyata lumayan juga. Apalagi ada kebijakan kampus, apabila ada publikasi mahasiswa di media lokal atau nasional, maka ada uang tambahan dari fakultas dan universitas. Jadi sekali menulis, ada tiga fee yang akan didapatkan. Dari medianya, dari fakultas dan dari universitas. Wah lumayan banget! 

Selain dari menulis, tambahan uang juga dari uang beasiswa sampai berbagai even kampus. Mulai lomba hingga even kampus yang membuka lowongan pekerjaan freelance bagi mahasiswa. Semua yang berpotensi cuan saya ikuti .

***

Namun semuanya belum saya anggap gaji pertama. Hingga di 2001, lulus kuliah, saya mendapatkan pekerjaan pertama saya sebagai jurnalis di sebuah majalah keuangan perbankan, di Jakarta. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun