Selama bertahun-tahun, Bantengan menghadapi tantangan serius berupa stigma negatif yang melekat kuat di masyarakat. Ritual-ritual mistis, minuman keras, kondisi trance yang menakutkan, hingga masuknya unsur-unsur yang tidak sesuai dengan nilai-nilai lokal telah mengubah persepsi masyarakat terhadap kesenian ini.
Puncaknya, pada awal 2000-an hingga 2019, Bantengan hampir kehilangan pamor. Masyarakat, terutama orang tua, mulai menghindari pertunjukan ini karena dianggap tidak layak ditonton, apalagi oleh anak-anak. Kesenian yang seharusnya menjadi kebanggaan budaya lokal justru menjadi momok yang dihindari. Namun beruntung, sejak tahun 2010, Masyarakat Penggiat Budaya Indonesia mulai menggelar event International Trance Carnival yang bekerja sama dengan Seni Pertunjukan Keliling In The Art Island, yang menyertakan Bantengan sebagai salah satu agenda yang dipentaskan, memberikan harapan baru bagi keberlangsungan kesenian ini.
Perjalanan Panjang Menuju Kebangkitan
Sebenarnya, upaya untuk mengangkat kembali Bantengan telah dimulai sejak lama. Pada tahun 2003, ketika Kota Batu resmi menjadi kota mandiri, pemerintah daerah mengukuhkan bahwa seni tari Bantengan adalah kesenian yang berasal dari Kota Batu. Sejak saat itu, Bantengan mulai menggeliat dengan banyak perkumpulan pemuda desa yang mendirikan kelompok Bantengan secara mandiri.
Momentum bersejarah terjadi pada 26 Maret 2014, ketika Stadion Brantas di Kota Batu menjadi saksi bisu sebuah rekor fenomenal. Suasana mistis yang kental terasa seiring berjalannya waktu menuju malam, namun masyarakat justru semakin berdatangan, tidak mau ketinggalan menjadi saksi sejarah terpecahnya rekor BANTENGAN TERBESAR dengan melibatkan 1.698 seniman Bantengan kolosal untuk meraih rekor MURI kategori jumlah personel terbanyak.
Acara yang dipimpin langsung oleh Wali Kota Batu pada waktu itu, Eddy Rumpoko, ini menandai transformasi besar Bantengan dari konsep karnaval sederhana menjadi pertunjukan kolosal yang spektakuler. Dengan tata kreasi tari, panggung, musik, lighting, dan sound system yang memukau, acara ini berhasil mengubah paradigma masyarakat tentang Bantengan. Konsep entertainment yang baru ini membuat masyarakat tidak menemukan titik jenuh untuk menikmati Bantengan, berbeda dengan acara-acara sebelumnya yang masih menggunakan konsep karnaval sederhana.
Selanjutnya, pada Agustus 2023, Festival 1000 Banteng Nuswantoro di Kota Batu menjadi titik balik kebangkitan modern Bantengan. Antusiasme pengunjung dan paguyuban Bantengan yang luar biasa membuktikan bahwa masyarakat masih memiliki kerinduan terhadap kesenian tradisional mereka.
Festival ini tidak hanya berhasil menghidupkan kembali Bantengan, tetapi juga menginspirasi kota-kota sekitar untuk mengadakan festival serupa. Lebih penting lagi, festival ini membuka mata para seniman dan budayawan bahwa Bantengan membutuhkan regenerasi dan pendekatan yang lebih ramah keluarga.
Inovasi Bantengan Bocil: Menjaga Tradisi dengan Cara Modern
Di sinilah peran Anjani, seorang seniman batik motif Bantengan dan pemenang Apresiasi SATU Indonesia Award 2017, menjadi krusial. Melalui gagasan Bantengan Bocil, ia membuktikan bahwa tradisi dapat dipertahankan tanpa unsur-unsur negatif yang selama ini melekat.