Pertemuan dengan Warisan Budaya yang Hampir Terlupakan
Sabtu pagi, 5 Juli 2025, langit Kota Batu tampak sedikit mendung berkabut dengan angin sejuk yang menyapa khas pegunungan. Di tengah kehijauan Desa Bumiaji, salah satu Kampung Berseri Astra yang terkenal dengan jambu kristal dan apelnya, sedang berlangsung sebuah peristiwa budaya yang luar biasa. Acara "SATUKAN GERAK, TERUS BERDAMPAK" by Astra tidak hanya mempertemukan peserta dengan UMKM lokal, tetapi juga dengan kekayaan budaya yang selama ini tersembunyi di balik stigma negatif.
Hari itu menjadi momen bersejarah bagi kebangkitan seni Bantengan, khususnya dalam bentuk yang ramah anak melalui gerakan "Bantengan Bocil". Sebuah inovasi yang membuktikan bahwa tradisi dapat bertransformasi tanpa kehilangan esensi kulturalnya.
Bantengan: Jejak Sejarah yang Terlupakan
Seni Bantengan bukanlah fenomena baru dalam khazanah budaya Jawa Timur. Kesenian tradisional ini dipercaya telah ada sejak zaman Kerajaan Singhasari, dengan bukti pahatan di salah satu bagian luar dinding Candi Jago, tepatnya semacam Yoni dan berada di sisi timur laut Candi yang dibangun pada abad ke-13. Meskipun belum ada kajian ilmiah yang mengutkan tentang awal mula lahirnya seni tari Bantengan ini, yang pasti kesenian yang lahir dari basis ilmu silat ini awalnya hanya ada dan tumbuh di wilayah Malang raya, utamanya di Poncokusumo, Tumpang, dan Kota Batu.
Wilayah Celaket-Pacet di Kota Mojokerto juga mengakui keberadaan seni tari tradisional ini. Tidak ketinggalan, kota-kota di sekitar seperti Kediri, Probolinggo, dan Pasuruan juga mengenal budaya Bantengan, namun setiap daerah memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri, menunjukkan sifat fleksibilitas Bantengan dalam beradaptasi dengan kondisi lokal.
Secara filosofis, Bantengan merupakan simbol perjuangan melawan ketidakadilan, baik di masa kerajaan maupun kolonial. Pertunjukan yang menggambarkan tingkah polah seekor banteng ini dimainkan oleh dua orang dalam kostum banteng, dengan ornamen yang cukup sederhana namun bermakna: tanduk asli dari hewan banteng, kerbau, atau sapi yang dipadukan dengan kepala banteng terbuat dari kayu (berat total bisa mencapai 20 kg), dihiasi mahkota berupa sulur wayangan dari kulit atau kertas, dan kelontong (lonceng yang disematkan di leher).
Badan Bantengan umumnya hanya berupa kain hitam panjang, yang saat pertunjukan dimulai diisi dengan dua orang pendekar silat: bagian depan berperan sebagai kaki depan sekaligus pemegang kepala banteng, sementara bagian belakang berperan sebagai ekor banteng sekaligus pengontrol tari serta kaki belakang. Pertunjukan ini diiringi musik gamelan tradisional dengan gong, kendang, dan suling.
Tantangan dan Stigma yang Mengakar