Umi Syaja'ah Setia Mendampingi Buya Selama 40 Tahun Hingga Wafat
Umi muda, merupakan gadis manis yang qurrata a'yunin, adalah wanita shalehah yang kemudian menjadi isteri Buya sebagai kado istimewa dari pasangan suami-isteri (H. Hidayat & Hj. Hafsah) yang menjadi jama'ahnya saat Buya memulai perintisan pondok di Cikungkurak.
Sifat Umi yang lembut, penurut dan ta'at, sangat mendukung penggapaian Buya dalam meniti cita-citanya membangun pondok. Watak Buya yang keras dalam menerapkan disiplin bagi santrinya, seolah dilengkapi oleh sifat Umi yang sabar dan penyayang kepada santri. Jika santri mendapatkan hukuman dari Buya, maka Umi akan hadir layaknya seorang ibu yang menghibur dan memotivasi agar anaknya tidak menangis dan tumbuh semangat kembali.
Walaupun Umi cantik dan shalehah, selama saya berada di pondok bahkan boleh dikatakan dekat dengan keduanya, Buya tidak pernah menampakkan "kasih-sayangnya" apalagi memanjakan Umi, dan Umi bersikap "sami'naa wa athanaa", yang apapun ucapan dan titah Buya pasti akan dilaksanakannya, bahkan tidak jarang Umi harus menerima hukuman seperti layaknya santri. Tapi masa iya sih tidak ada kasih sayang diantara keduanya? Bukankah keduanya telah hidup "sapapait samamanis" (seia sekata) dan telah melahirkan enam orang putri dan satu orang putra?.
Anggapan saya mulai terbantahkan jauh setelah saya berada di luar pondok. Ketika itu Umi dirawat di Rumahsakit dan saya berkesempatan membesuknya, maka dengan mata kepala sendiri saya menyaksikan Buya mengelus-elus Umi sambil menyatakan kasih-sayangnya kepada Umi; Maka di situ saya merasa kaget dan berbicara dalam hati: "Aeh, naha geuning Buya teh nyaaheun ka Umi!". (Oh, ternyata Buya sayang juga kepada Umi!)
Di lain waktu, saat saya menerima kabar bahwa Umi jatuh sakit dan dirawat di Rumah Sakit Al-Islam. Tentu, sebagai santrinya saya berkeinginan membesuknya, lalu saya menelepon salah satu mantunya, Ust. Irwan, meminta izin untuk membesuknya, tapi karena situasinya tidak memungkinkan karena penerapan PSBB-Covid 19 dan Umi berada di ruang ICU, lalu ia mengabarkan keadaan Buya yang terus-menerus menangisi Umi.
Puncak bukti Buya sangat menyayangi Umi, terjadi ketika Umi dinyatakan telah wafat. Dari mulai Umi memejamkan matanya yang terakhir, janazahnya dipulasara, hingga dimasukkan ke liang lahat, Buya terus menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainan yang paling disayanginya. Bahkan setelah beberapa hari Umi dikuburpun, Buya benar-benar merasa lehilangan dan berduka atas kepergian Umi.
Itulah bukti betapa sayang dan cintanya Buya kepada Umi.
Mendapat Pendamping Yang Baru
Setelah Umi Syaja'ah menyelesaikan tugasnya mendampingi Buya selama 40 tahun dan beristirahat untuk selamanya, maka seusai tahlilan yang ke-40 harinya, Allah Dzat Yang Mengatur segalanya mengirimkan gantinya untuk mendapingi dan menemani Buya di masa senjanya.Â