Mohon tunggu...
Endang Setiawati
Endang Setiawati Mohon Tunggu... Lainnya - شبان اليوم رجال الغد
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Aku adalah aku dengan segala kekuranganku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bumi Sendu

4 Agustus 2020   20:30 Diperbarui: 4 Agustus 2020   20:31 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jejak kita sama. Langkah yang berbeda. Kamu, menenangkan. Tatapan mentari pagi mengusung segala sunyi beradu dengan malam yang kian hari kian menyesakkan. Basah, di sudut pelupuk binar, mengurai anak sungai di sudut bibir. Terjatuh, hingga lupa cara sembuh. Kamu menang. Jemari tak lagi menyentuh. Jauh, hilang dalam diam.

Rindu ku kamu yang mengalahkan. Segala tegar yang tersusun, hancur hingga lebur tak berbentuk. Tatapan dan banyak tawa yang kamu hadirkan, selalu mampu memberi tenang. Satu hari di tahun yang baru, diam tanpa beranjak. Mematung terpesona, bumi ku sendu. Menghidupkan segala candu. 

Entah bagaimana bisa termulai. Aku khawatir perihal akhir. Jarak ku hanya sepuluh langkah dari bumi. Jika aku mau, aku bisa berlari dan memeluknya. Lalu berkata "tak bisakah aku saja?". Kemudian membawanya pulang untuk ku simpan diam-diam. 

Namun sayang,  aku tak tega menjadikannya kenang pada satu hari di tahun yang entah kapan.

Gemuruh tepuk tangan, mengisi penuh seluruh ruangan. Ribuan manusia, berbahagia melihatnya tegak berdiri dengan kokoh bersama gitar yang ia petik lihai. Dari milyaran kekaguman, dia adalah salah satu ciptaan yang paling mampu meluluhkan. Kepadanya seluruh rasa cinta akan ia dapatkan dengan mudah. Segala bentuk perhatian akan sangat banyak ia terima. Dan aku, adalah satu dari ribuan pasang mata yang menatapnya dengan penuh binar.

Ruangan yang penuh sesak, terasa begitu lapang ketika menatapnya riang. Gemuruh teriakan namanya, terngiang hingga akhir lagu yang ia bawakan.

"kau memang mengagumkan." Ucapku dalam hati.

"aku pernah menawarkan sebuah hati, tulus. Namun, kau biarkan hangus. Aku bersedia menyembuhkan hingga akhirnya kau mampu bangkit lagi. Namun, kau hanya ingin aku sebutuhnya bukan sepenuhnya. Lagu ini untukmu yang kini kian jauh." Prolog yang ia ucapkan sebelum menyanyikan lagu berikutnya. Tak lama kemudian petikan gitarnya kembali membuat siapapun yang berada di ruangan terbawa rasa sedih yang mendalam bahkan sangat menyayat.

"Berjuang sendiri, tapi ku tak sanggup pergi
Dari dirimu yang tak mencintaiku
Pernah kutawarkan hatiku
 dan seluruhnya hanya untuk kamu
Tapi kau tak mau, dan lebih memilih untuk bersamanya
Kan ku obati luka di hatimu
Kan ku sembuhkan sakit dan sedihmu
Tapi apa daya kau lebih memilih

Terluka sakit dan sedih, daripada harus bersamaku...."

Lagu langit sore "memilih terluka", yang ia cover dengan begitu apik, hingga yang mendengar akan merasa cabik. Tepuk tangan kembali bergema, jauh lebih riuh dari sebelumnya. Terlihat banyak pipi yang basah. 

Tersebab lagu yang ia bawakan selalu mampu mencambuk rasa.

Hari ini adalah hari ulang tahun kampus, salah satu rangkaian acaranya adalah pensi. Disana, sosok yang berdiri diatas panggung yang sedari tadi mencuri banyak hati. Pria berkemeja hitam dengan celana jeans warna cream, lengkap dengan sepatu kets favoritnya. Tampan sekali. Apa yang ia pakai seolah menyatu sempurna.

"bumi...". Namanya Bumi. Jika menatap dalam-dalam matanya, seperti ada lautan luas yang siap tumpah kapan pun, menggilas tiap gersang yang usang, teduh. Sunggingan disudut bibirnya akan begitu menenangkan segala gaduh yang makin halu. Dibalik telapak tangannya, ada hangat yang mengalahkan segala dingin, mampu menguatkan.

Bumi adalah salah satu mahasiswa di kampus ku. Bagi banyak orang dia memiliki kepribadian yang baik, ramah, murah senyum, humoris, dan puitis. Hampir disetiap pertunjukannya ia selalu menyelipkan sajak-sajak indah sebagai pembuka sembari memetik gitarnya sebelum bernyanyi. Sosok yang hampir mendekati sempurna bukan?, bagi setiap wanita dia adalah idaman. Tidak terkecuali, aku.

Aku ingat, Ketika itu hujan turun dengan lebatnya. Rintiknya jatuh membasahi permukaan bumi. Gigil memeluk erat tubuh.Terlihat mahasiswa yang baru saja keluar dari kelas mengurungkan langkahnya, tersebab hujan yang datang tiba-tiba. Pun tidak sedikit mahasiswa yang dengan sigap berlari sembari mengangkat tas nya ke atas kepala sebagai pengganti payung, niatnya.

Aku masih terdiam, memandang jauh. Entah apa yang akan ku lakukan. Jika aku memutuskan untuk pulang dan menerjang hujan, sampai rumah pun aku akan kebasahan. Namun jika aku tidak pulang sekarang, ibu akan khawatir karena aku pulang terlambat lagi. Sedang handphone ku mati. Dan tak dapat memberi kabar orang rumah, kalau aku terjebak hujan. Tak dapat pulang cepat.
"untukmu.." (memberi payung, lalu pergi).

"eh, tunggu. Kamu gimana?." Ucapku, menahannya untuk berlari lebih jauh.

"aku baik-baik saja." Ia kembali berlari dan tak lagi terlihat oleh pandangan.

"pria aneh." Gumam ku. "Sudahlah, ini memang nasib baik ku. Setidaknya, aku bisa melangkah pulang sekarang." Sore itu, aku pulang dengan tenang. Sesekali terngiang dengan pria baik namun aneh itu.

Dua tahun sudah sejak hari itu. Kilas balik, saat pertama kali aku menemukannya. Mahasiswa yang saat ini banyak dieluh-eluhkan oleh mahasiswi-mahasiswi cantik sekampus.Ternyata dulu, aku sangat beruntung. Sempat merasakan sikap manisnya.

"prok,prok,prok,prok,prok..."

"bumi, bumi,bumi..."

"lagi,lagi,lagi,lagi.." suara tepuk tangan dan teriakan mahasiswa sekampus yang menginginkan ia untuk menyanyikan sebuah lagu lagi.

"ayolah, kalian memang tak bisa berhenti untuk tidak meneriaki namanya." Gumamku.
Akhirnya, bumi menyanyikan satu lagu terakhir. Sebelum acara pensi benar-benar ditutup.

" dan mungkin bila nanti, kita kan bertemu lagi
Satu pinta ku, jangan kau coba tanyakan kembali
Rasa yang ku tinggal mati, seperti hari kemarin
Saat kau masih disini.."

Sorak sorai, bernyanyi bersama menjadi penutup acara pensi malam ini. Pukul menunjukkan jam 23.15 WIB. Aku bergegas pulang, ibu pasti sedang menunggu.

"tok, tok,tok." Ku ketuk pintu

"bu, ibu.." tak lama kemudian ibu membukakan pintu dan aku langsung masuk kedalam rumah.

"kenapa kamu pulang telat lagi sendu?"

"maaf, bu. Hari ini adalah hari ulang tahun kampus. Jadi sendu ikut menyiapkannya. Ibu marah?. Sendu tadi sudah mengabari ibu loh.."

"tidak, ibu tidak marah. Kamu ikut menyiapkan atau...." (sambil tersenyum jahil)

"atau apa bu?"

"ikut menjadi penonton nya si bumi, hehehehe. Ayo ngaku"

"hehehehe, ibu tahu saja." Aku memeluknya erat-erat.

"dasar anak nakal." Ia menarik hidungku. "sudah sana, bersiaplah untuk tidur, besok kan masih ada jam kuliah."
 
"siap, boskuuhhh."

Memiliki ibu yang bisa sekaligus menjadi teman, memang sangat menyenangkan. Wanita yang beranjak senja itu. Di mata ku, masih sama mudanya dengan ku. Energik, ceria, penuh perhatian. Dia memang luar biasa. Entah kata mana lagi yang dapat menggambarkan hebatnya ia.
Tak terasa, bulan kembali  ke peraduannya. Mentari kembali ke lintasannya. Pagi. Seperti biasa, pukul 08.00 aku sudah berada di kampus. Tidak seperti pasar, dimana manusianya sudah tumpah ruah. Di kampus ini, masih sepi. Baru ada satpam yang membuka gerbang kampus dan beberapa CS yang sedang merapikan taman.
Aku berjalan sendirian, lagi. Menikmati udara pagi, sambil sesekali berlari. Buatku, ini hobi. Aku sangat tidak suka berolah raga. Berlari kecil menuju kelas sudah cukup menjaga sehat. Sesampainya di kelas, aku memilih bangku kesukaan ku. Baris ketiga dari depan.
"mawar putih dan puisi lagi.."

Biar aku yang mulai,
mengajarimu berpijak kokoh di bumi.
Beradu rayu dengan mentari,
hingga rembulan malam hari.
Untukmu sendu

Aku terdiam untuk kesekian kali. Sebab tidak hanya sekali aku mendapatkan mawar putih dan selarik puisi. Tanpa pengirim yang jelas. Entah datang dari planet  mana. Hampir  dua tahun aku mendapatkannya, memang tidak setiap hari. Tapi sudah puluhan kertas yang terkumpul di laci kamarku.
Ketika pertama mendapatkannya. Tak ku anggap serius, hanya angin lalu saja. Ku pikir itu dari seseorang yang hendak menjahili ku, jadi aku membuangnya. Lalu di minggu-minggu selanjutnya aku selalu mendapat kiriman serupa. Hingga akhirmya, aku memutuskan untuk menyimpan semua puisi yang datang. Sebab, jika ku baca puisi yang tertulis sangat indah. Tak jarang aku tersenyum di buatnya.

"senduuuuuu.." (suara nyaring yang menghamburkan lamuananku)

"apaan sih ki, ganggu aja. Manggil nama orang kayak manggil monyet tahu gak!"

"hahahaha..,habisnya, ku perhatiin kamu halu terus. Pagi-pagi udah ngelamun."

"ah, cerewet bener sih. Lagian sok merhatiin banget."

"kamu aja yang gak peka, aku kan memang suka merhatiin kamu. Meski dari jauh."

"nah kan, sekarang siapa coba yang halu?. Halu teriak halu kamu mah."

"dasar wanita jahat, tanpa perhatian." Rezki memasang wajah sedih.

"bodo amat." Ku julurkan lidahku, mengejeknya. Namun, dia kembali tertawa terbahak-bahak
Rezki adalah sahabat baik ku. Dia adalah teman sedari kecil. Berpuluh tahun berada di lingkungan yang sama, sekolah yang sama, bahkan kami mengambil jurusan yang sama ketika kuliah, hingga memiliki hobi yang sama. Membuat kami terlihat sangat akrab, begitupun dengan keluarga kami. Terkadang di penghujung tahun, kami sama-sama melakukan liburan, saling mengundang makan malam, saling memberi dukungan ketika salah satu sedang terpuruk, dan lain-lain. Kami benar-benar seperti satu keluarga.
Jam perkuliahan pun selesai. Hari ini aku hanya ada satu mata kuliah. Jadi jam 10.00 WIB, aku sudah bisa pulang.
"sendu, kamu mau pulang sekarang atau nanti?" tanya rezki.

"belum, aku nanti pulangnya. Aku mau ke perpustakaan dulu, ada yang mau aku lakukan."

"ya udah. Ayok aku antar ke perpustakaan."

"gak usah ki, aku sendirian aja."

"bener gak mau di antar aja?"

"iyaaaa.. sumpah, bawel banget sih."

"ya udah, iya. Aku duluan ya?, pulang mu jangan telat. Nanti ibu khawatir di rumah."

"iya bawel. Kamu hati-hati, jangan ngebut."

"cie.., yang perhatian sama aku." Rezki tersenyum sumringah

"kayak gak pernah di perhatiin aja. Playboy kampus kok kurang perhatian, hahaha" Ejek ku.

"kamu memang suka menarik kesimpulan sendiri. Aku bukan playboy tahu..., kan cintaku hanya untuk mu, hehehehe"

"udah sana pulang, ngehalu aja terus. Hahahahaha."

"okay, good bye nona cerewet." Rezki pun berlalu dengan motornya.

Sesampainya di perpustakaan, karena ini masih pagi terlihat hanya beberapa mahasiswa yang sedang membaca buku dan satu staff yang sedang sibuk mengurus data peminjaman buku. Aku mengambil sebuah novel, yang beberapa hari lalu belum selesai ku baca. Keasyikan membaca buku. Sampai aku tidak menyadari ada seseorang yang mendekati.

"hei, boleh ku pinjam penamu?."

"hah." Sejenak aku terdiam. "bo..boleh. Tunggu bentar ya."  (sembari memberikan pena), seketika aku gagu.

"makasih ya, nanti ku kembalikan." Bumi tersenyum manis.

Entah, mimpi apa aku malam tadi. Sehingga pagi ini aku bisa melihatnya kurang dari sepuluh langkah.
Jarak terdekatku hanya sepuluh langkah darimu.
Namun hari ini, tuhan memberi ku lebih. Aku seolah di izinkan untuk mendekat.
Kamu seolah paham, bahwa aku begitu menginginkan.
Kekaguman yang ku simpan diam-diam, ternyata menyuburkan cinta dalam-dalam.
Aku tak pernah memiliki keberanian lebih untuk mengatakan.
Bukan tersebab tak ingin mengusahakan. Namun kamu terlalu luar biasa untuk ku cintai dengan biasa. Dua tahun sudah, aku tak pernah berniat menenggelamkannya. Ku simpan saja.Entah ini perihal waktu atau takdir. Bagiku kamu penguat dititik nadir.
Catatku di buku harian.

Dua tahun kemudian...

Hari ini mentari bersinar dengan teriknya. Panasnya menyengat kulit. Empat tahun sudah mengenyam pendidikan di jurusan sastra bahasa Indonesia. Hari ini aku sidang skripsi. Ujung dari batas untuk mulai masuk ke gerbang perjalanan berikutnya. Kulihat, pagi-pagi sekali ibu, ayah sudah siap untuk mendampingiku sidang skripsi.
Terlihat wajah sumringah ayah dan ibu. Mereka menunggu di luar sidang dengan sabar dan penuh kecemasan, karena hari ini merupakan penentu, berhasil atau tidaknya aku dalam belajar. Aku pun keluar dari ruang sidang skripsi.

"bu... yah....," aku diam sejenak. "aku lulus.." ku peluk erat-erat ibu dan ayah, kemudian kudapati cium sayang di kening oleh ayah dan ibu.

"makasih ya nak, kamu memang anak yang selalu mampu membuat kami bangga." Ucap ibu dengan haru.

"sendu yang harusnya bilang terima kasih ke ayah dan ibu, karena tanpa kalian sendu tidak akan mampu sampai ke titik ini." Kembali ku peluk ibu.

"hei nona cerewet, cie udah lulus sidang." Kehadiran rezki mengubah suasana haru menjadi seru. Dia sudah selesai sidang lebih dulu, beberapa hari yang lalu.

"nih buat kamu. Hadiah lulus sidang" Sembari menyerahkan boneka beruang lucu kesukaan ku.

"wahhhhh, makasih ya ki. Kamu ganteng banget kalau lagi kayak gini. hehehe"

"hmm, yah..bu.. aku pinjam sendu nya bentar ya, boleh?" Rezki meminta izin ke ayah dan ibu ku. Begitu lah rezki, ia memanggil kedua orang tua ku seperti orang tuanya.

"boleh, ya sudah kami pulang duluan ya?, sendu nanti pulangnya sama rezki"

"ok bu."  Jawab rezki. Ibu pun melangkah pulang.

"mau ngomong apa sih ki?" tanyaku penasaran.

"udah ikut aja nona....."

Kami pun sampai di sebuah restoran mewah. Sebelum masuk rezki menutup kedua mataku.

"aku mau ngasih kejutan untukmu." Ucapnya. Rezki tahu betul aku sangat suka diberi kejutan. Alhasil aku pasti mengiyakan.

Ia menggandengku masuk ke restoran. "hati-hati ya jalannya."

"iya, bawel."

Setelah sampai di dalam, penutup mata ku di buka. Kulihat, ada ayah, ibu ku dan seluruh keluarga rezki. Aku menatap kosong. Selain itu ruangan dalam restoran tersebut sudah tertata sangat indah. Aku bingung.

"aku sengaja mengumpulkan keluarga ku dan keluargamu"

"kenapa?" aku makin penasaran

"kamu duduk sini ya.."  Rezki meminta ku duduk. Aku pun duduk di sebelah ibu.

"ada apa sih bu?." Ibu hanya tersenyum. Kemudian rezki menuju ke salah satu sudut ruangan. Disana ada piano, dan rezki duduk di belakang piano tersebut. Kemudian mulai memainkannya.
"di ujung cerita ini
Di ujung kegelisahanmu
Ku pandang tajam bola matamu
Cantik dengarkanlah aku
Aku tak setampan Don juan
Tak ada yang lebih dari cintaku
Tapi saat ini ku tak ragu
Ku sungguh memintamu
Jadilah pasangan hidupku
Jadilah ibu dari anak-anak ku
Membuka mata dan tertidur di samping ku
Aku tak main-main
Seperti lelaki yang lain
Satu yang ku tahu, ku ingin melamarmu"
Alunan piano dan suara emas rezki ketika menyanyikan lagu itu, seketika membuat jantung ku berdegup kencang. Setelah selesai membawakan lagunya, rezki kembali berjalan ke arahku. Kemudian, ia meraih tangan ku, memintaku untuk berdiri.

"sendu, mulai hari ini aku ingin berhenti."

"maksudmu?."

"iya, aku ingin berhenti menjadi sahabatmu." Kemudian ia berlutut dan mengeluarkan kotak kecil dari saku nya. "kamu mau enggak nikah sama aku?."

"gak lucu ki main-mainnya"

"aku serius. Hari ini aku serius, kemarin juga serius. Setiap aku bilang aku sayang kamu, aku serius. Hanya saja hari ini, aku mencoba lebih berani mengatakannya dengan sungguh-sungguh." Rezki menatapku dalam. Aku hanya diam.

"kamu mau kan belajar mencintaiku seperti aku mencintai kamu." Ucapnya lagi.

Aku masih diam, berusaha mencerna semua yang ia katakan. Aku paham betul, hatiku bukan untuknya. Tapi untuk pria yang aku  tatap diam-diam, yang ku perhatikan dari jauh. Meski tanpa satu bentuk obrolan pun. Bahkan mungkin ia tidak tahu nama ku.

"bumi, hatiku untuknya." Gumamku.

Lalu ku perhatikan  lagi, pria baik yang ada dihadapan ku saat ini. Ia sudah menemani ku bertahun-tahun. Memberiku banyak tawa ketika gundah. Menjagaku agar aku selalu bahagia. Tegakah aku menyakiti hatinya?. Sanggupkah aku menolak pinangannya. Aku meyakinkan diriku sendiri. Ini sudah empat tahun, mungkin bumi memang bukan takdir. Sudah seharusnya aku mulai belajar mencintai rezki. Aku yakin, dia pria baik.

"iya ki, aku mau belajar untuk cinta sama kamu." Jawab ku sambil tersenyum

"bener kamu mau?." Ucapnya dengan girang.

"kan mulai bawel lagi..hahahaha" aku tertawa. Kemudian ia mengambil sepasang cicin emas putih kemudian memasangkan nya di jari manis ku, akupun melakukan hal yang sama.

Setelah itu, kami pulang ke rumah masing-masing dengan penuh tawa. sesampai nya di rumah, aku langsung masuk kamar karena lelah.

"tok,tok,tok..boleh ibu masuk nak?."

"iya bu, masuk saja. Pintunya tak sendu kunci." Ibu pun masuk dan duduk di pinggir ranjang tidur ku.

"nak, boleh ibu bertanya sesuatu?."

"boleh dong ibu ku sayang. Mau tanya apa sih, kok serius bener?"

"kenapa kamu menerima pinangan rezki?."

"kok ibu nanya nya gitu. Ibu juga sudah kenal baik rezki dan keluarganya kan."

"nak, ibu ini ibu mu. Ibu tahu kamu tak pernah mencintai rezki. Sampai saat ini pun kamu masih mencintai bumi. Ibu ingin kamu bahagia bukan karena terpaksa. Tapi karena itu benar-benar keinginanmu."

"bu, ini keinginanku. Aku tak terpaksa menerima rezki. Sudah empat tahun aku mencintai bumi diam-diam. Tanpa ada sekali pun keberanian. Sendu tahu bu, empat tahun bukanlah waktu yang singkat dalam mencintai. Tapi bu, aku ingin belajar mencintai rezki seperti hal nya aku mencintai bumi, bahkan mungkin lebih. Ibu akan mendukungku kan?."

"tentu saja, ibu akan mendukungmu. Sekarang istirahatlah nak." Ku lihat, ia mulai tersenyum tenang.

Satu bulan kemudian..

"teruntuk teman-teman yang ku sayangi. Hari ini, mungkin saja hari terakhir kita bersua dan bertukar cerita. Setelah kita keluar dari aula ini kita akan mulai memasuki babak baru perjuangan. Diantara kita, mungkin akan ada yang melanjutkan S2, memulai karier yang diinginkan, bahkan ada yang sudah merencanakan perihal pernikahan. Jadi, ada sebuah bait puisi yang sajak nya 'Biar aku yang mulai, mengajarimu berpijak kokoh di bumi. Beradu rayu dengan mentari, hingga rembulan malam hari.' Lagu ini ku nyanyikan untuk kita semua"

Kemudian petikan gitar dan suara membius ribuan pasang telinga.
"pergilah kasih kejarlah keinginanmu
Selagi masih ada waktu
Jangan hiraukan diriku
Aku rela berpisah demi untuk dirimu
Semoga tercapai segala keinginanmu..."

Lagu dari Chrisye "pergilah kasih" menjadi penutup acara wisuda kami. Aku masih mematung sedari tadi. Aku mencoba mengingat, dimana aku pernah mendengar kutipan puisi yang bumi katakan tadi. Kemudian, aku teringat dengan sebuah mawar putih yang ada di atas bangku kuliah favorit ku dua tahun lalu. Disana juga ada secarik kertas yang bertuliskan sebait puisi. Puisi itu sama persis seperti yang di ucapkan oleh bumi. Pikiran ku kian menerawang.
Setelah kulihat bumi keluar dari ruangan. Entah keberanian dari mana aku memutuskan untuk bertanya langsung padanya.
"bumi...." aku memanggilnya. Ia berhenti melangkahkan kaki nya.

"kamu.." bumi tersenyum manis.

"hmmm, boleh aku memastikan sesuatu?." Tanya ku padanya.

"boleh, kita cari tempat yang lebih tenang ya."

Akhirnya kami memilih untuk berbicara di taman belakang kampus. Kami pun duduk di salah satu bangku di taman itu. Beberapa saat, kami saling diam, hingga akhirnya bumi lebih dulu membuka pembicaraan.
"iya, itu aku." Bumi seolah tahu apa yang hendak ku pastikan padanya.

"jadi benar, semua mawar putih dan puisi itu dari kamu?."

"iya, sudah lama aku ingin mengatakannya. Tapi tak pernah punya keberanian lebih. Empat tahun lalu, saat aku memberi mu sebuah payung, sebenarnya aku ingin menemani mu. Tapi ku urungkan niat ku. Jadi, aku mengikutimu sampai rumah, untuk memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Lalu saat aku meminjam pena, sebenarnya aku ingin mengajak mu untuk membaca buku bersama. Aku hanya bisa memperhatikanmu dari jauh. Lagi-lagi aku tak berani melangkah lebih dekat. Ada masa dimana kamu meninggalkan sebuah buku diary di perpustakaan. Lancang memang. Namun aku memberanikan diri untuk membukanya. Aku membaca sebagian isinya. Ada nama ku di sana. Kau tahu sendu?. Setelah tahu ada nama ku disana, aku ingin mengatakan bahwa rasamu sama dengan rasa ku. Inginmu sama dengan inginku. Namun tak ku katakan padamu. Sejak awal aku sudah memilih mu." Bumi mengatakannya dengan sungguh-sungguh.

Perasaan ku campur aduk. Entah apa yang harus ku ucapkan padanya. Aku hanya menatapnya dalam. Kemudian, tak terasa bulir hangat jatuh ke sudut bibir ku. Waktu memang tak pernah tepat untuk ku dan untuknya. Entah aku yang melewatkannya, atau memang sudah begini jalannya. Aku mengetahui bahwa cintaku tak pernah bertepuk sebelah tangan kepada bumi, namun setelah aku berani memutuskan menanggalkan rasaku untuknya.
"kau tahu bumi.."

"iya, aku tahu segala hal tentangmu. Aku tahu namamu, alamatmu, makanan kesukaanmu, lagu favoritmu, novel yang sering kamu baca, bahkan aku tahu kamu menerima pinangan rezki, sahabat baikmu." Aku hanya menangis mendengar pengakuannya.

"jika saja, waktu itu aku memiliki keberanian lebih. Kau mungkin sedang berada di pelukan ku saat ini. Salah ku melewatkanmu. Tapi tak apa. Aku melihatmu bahagia. Rezki pria yang baik. Ia lebih mampu membahagiakanmu. Aku sudah tidak menyesal sendu. Aku pamit, aku takkan mengirim puisi lagi. Aku pergi dulu ya.." tanpa banyak kata lagi, bumi pergi begitu saja.

"satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh.." ku hitung langkahnya. Kini dia menjauh lebih dari sepuluh langkah. Meninggalkanku yang terluka.

Sejak hari itu, aku tak pernah lagi mendengar kabar nya. Ia benar-benar hilang. Entah dimana laut menenggelamkannya, atau langit yang menghempaskannya.
Satu tahun kemudian, aku memutuskan untuk mengambil S2 di Singapura. Aku masih menyimpan bumi rapat-rapat. Rinduku ku simpan rapih. Berharap aku menemukannya di suatu tempat, yang entah dimana. Rencana pernikahan ku dan rezki sudah dibatalkan.

3 bulan lalu..

"sendu, aku ingin mengatakan sesuatu padamu."

"apa ki.."

"hmm, kita batalkan saja rencana pernikahan kita." Ucapan rezki, sontak membuatku terdiam.

"ki, kamu kenapa?. Apa aku melakukan kesalahan?. Aku menyakitimu kah?"

"tidak, kamu tidak menyakitiku. Diriku sendiri yang menyakitiku."

"maksudmu?"

"sendu, aku adalah orang terdekatmu selama ini. Aku tahu kamu sudah mencoba begitu keras. Namun, dihatimu tak pernah ada aku. Tapi bumi." Aku terkejut mendengar ucapan rezki.

"Selama ini, aku sudah egois padamu. Sebenarnya aku sudah tahu sejak awal, bahwa pengirim bunga dan puisi itu adalah bumi. Aku juga paham bahwa kau sangat mencintainya, namun aku memilih diam, karena tak ingin kehilangan mu. Tapi sekarang aku sadar. Bahagiamu tak ingin ku gadaikan hanya untuk bahagia ku. Aku selalu ingin melihat cinta dimata mu, namun tak pernah ku dapati. Jadi, kita sudahi saja. Sungguh aku tak apa,"

"kamu memang sahabat baik ku ki. Tak ada yang sepaham kamu perihal aku.Makasih ya., dan maafin aku. Kamu pria yang baik ki, aku yakinkamu pasti bakal nemuin wanita yang jauh lebih baik dari ku"

"apaan sih, kok jadi mellow drama gini. Hahahaha."

"kamu tuh ya, emang gak bisa di ajak serius dikit ngomomg nya."

"emang. Hahahaha"

"tapi ki, gimana dengan keluarga kita?."

"udah, kamu tenang aja. Aku bakal ngomong baik-baik dengan keluargamu dan keluarga ku.  Aku yakin mereka pasti ngerti kok."

"pokoknya, thanks a lot rezki bawel"

Akhirnya aku berangkat ke Singapura, dan meneruskan kuliah disana. Sembari menunggu selesai studi di singapura, aku mengembangkan hobi menulisku. Aku mulai serius menggarap novel, harapanku dalam kurun waktu 2 tahun aku dapat menyelesaikan beberapa naskah  novel dan dapat mengirimkannya ke penerbit mayor di Indonesia.

Dua tahun kemudian...

Aku kembali ke Indonesia. Aku sudah menyelesaikan S2 di Singapura. Selain itu aku juga akan melakukan launching buku pertama, di salah satu tokoh buku di Jakarta. Dalam launching buku tersebut ada sesi pemberian tanda tangan secara langsung oleh penulis kepada pembaca yang membeli buku nya.

"kak sendu yang semangat ya.. lihat tuh antrian nya panjang banget. Kayaknya buku kakak bakal jadi buku best seller." Ucap rita, salah satu staf penerbit buku ku.

"Aamiin., makasih ya ta."

Satu per satu buku yang pembaca beli, ku tanda tangani. Tibalah ke tanda tangan terakhir.

"kak, tolong tanda tangan disini." (lelaki itu menunjukkan halaman yang harus ku tanda tangani"

Sebelum menanda tangani nya, di halaman yang ia tunjukkan ada sebuah puisi yang sepertinya ia tulis sendiri.
Dalam Tubuh Doa
Sepertiga malam
Ku ajak bangun tubuh
Ku basuh rindu
Bersama wudhu
Dingin menusuk tulang
Wajahmu ku ajak pulang
Segala kenang
Aku langitkan
Kau tak terjamah
Tak Terlihat
Tak dapat ku tolak
Tak ingin ku singkap
Kening, lutut sejajar
Namamu ku sebut hingga pijar
Di penghujung hingar
Rabb-ku yang mendengar
Pada --Nya kutanyakan Kabar
Perihal kau yang hilang kabar
Ku ikat dengan Sabar
Berharap kau datang sebab terdengar
Alih-alih angkat tangan menyerah
Aku, angkat tangan meminta
Dalam Tubuh Doa
Kau ku jaga

"kak, puisi mu bagus. Tulisanmu mengingatkan ku dengan seseorang." Aku langsung menandatanganinya, tanpa melihat ke arah lelaki itu.

"apakah tulisan ku mengingatkanmu pada bumi?." Ucap lelaki itu. Sontak pandanganku mengarah padanya.

"bumi.." benar, yang dihadapanku saat ini adalah bumi. Pria yang tujuh tahun ini setia tak mau pergi dari hati, belum terganti.

"hei, bagaimana kabarmu?"

"aku baik, kamu?."

"akupun baik. Bagaimana pernikahan mu dengan rezki?."

"aku tak menikahinya. Bagaimana denganmu?."

"aku masih menunggumu." Kemudian kami sama-sama tersenyum.

TAMAT.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun