Mohon tunggu...
Endah Rosa
Endah Rosa Mohon Tunggu... Penulis | Pengajar

Sedikit ilmu, sedikit refleksi, semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Teknologi Canggih, Hati yang Kosong: Krisis Kemanusiaan di Era Digital

1 September 2025   09:14 Diperbarui: 2 September 2025   06:43 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kepedulian (Sumber: Pixabay)

Di era digital yang serba cepat, perkembangan teknologi telah membawa banyak kemudahan. Komunikasi menjadi instan, informasi tersedia dalam hitungan detik, dan kehidupan tampak lebih praktis. Namun, di balik semua itu, muncul kekhawatiran besar: apakah kemajuan teknologi justru mengikis empati manusia modern?

Dulu, interaksi tatap muka menjadi ruang tumbuhnya empati dan kepedulian. Kini, interaksi banyak berpindah ke dunia maya. Ironisnya, semakin mudah kita "terhubung", semakin terasa jarak emosional antarindividu. Percakapan hangat digantikan oleh pesan singkat. Reaksi emosional yang dulu nyata, kini hanya berupa emoji.

Fenomena ini disebut sebagai "Alone Together". Media sosial dan perangkat digital membentuk ilusi koneksi, padahal secara emosional dan psikologis, manusia justru makin terisolasi. Contoh: Kita "berteman" dengan banyak orang, tapi jarang benar-benar mengenal atau peduli. Kita scroll media sosial saat merasa kesepian, alhasil yang kita dapat justru perbandingan sosial, pencitraan, dan makin merasa sendiri. Teknologi membuat kita terlihat bersama, tapi sebenarnya kita terpisah secara hati dan pikiran. 

Teknologi juga memberi ruang luas bagi konsumsi hiburan yang sarat kekerasan, seperti game dan film penuh adegan brutal. Selain itu, setiap hari kita melihat bencana, kekerasan, dan kesulitan lewat layar, lama-lama kita jadi kebal. Ini disebut compassion fatigue. Kita tahu ada penderitaan, tapi kita tidak lagi merasa terdorong untuk peduli. Paparan kekerasan yang berulang bisa menumpulkan kepekaan terhadap penderitaan orang lain. Kita terbiasa melihat kesakitan sebagai tontonan/hiburan, bukan kenyataan yang perlu direspons dengan empati.

Lebih jauh, media sosial mendorong budaya pamer dan persaingan. Manusia modern cenderung lebih fokus pada pencitraan diri daripada memperhatikan kondisi sesama. Nilai empati tergeser oleh dorongan untuk tampil sukses, bahagia, dan kaya, meski semua itu seringkali hanya ilusi digital.

Fenomena ini mencerminkan meningkatnya sikap egosentris, individualistis, dan materialistis. Teknologi, meski netral pada dasarnya, turut membentuk pola pikir dan perilaku manusia masa kini. Jika tidak disikapi dengan bijak, kemajuan zaman bisa membuat kita semakin jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.

Disclaimer: Tulisan ini dibuat dengan bantuan tools kecerdasan buatan. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun