Mohon tunggu...
Endah Suyarini
Endah Suyarini Mohon Tunggu... Lainnya - Saya bekerja dari subuh hingga malam hari. Jabatan saya sebagai seorang istri dan ibu. Disebuah perusahaan rumah tangga.

Saya suka menulis dan membaca, terutama tentang gosip viral. Selain itu juga mengisi waktu dengan bermain brick blok dan merecoki anak yang sedang main. Paling suka lagi adalah rebahan. Sekedar menikmati kipas angin didaerah panas ini, sambil mendengarkan cerita horor lewat aplikasi merah, atau membaca novel-novel fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sambutan

20 Maret 2024   20:38 Diperbarui: 20 Maret 2024   22:29 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Subuh sudah lama berlalu, berganti dengan pagi menjelang siang. Meski belum genap jam dua belas siang, namun panas sudah mulai terasa. Matahari sungguh royal membagi teriknya meski baru pukul sepuluh pagi.

Juragan Bondan, sang tuan cengkeh sedang berkacak pinggang sembari memerintahkan ini itu pada pekerja yang sibuk memasang tenda ala orang punya hajat.

"Ini kenapa bunganya sudah layu? Ganti yang segar!" Teriakan sangar terdengar. 

Juragan Bondan menuding bunga yang sudah lemah tak berdaya. 

"Baik juragan." Seorang pegawai yang terlihat masih muda, gegas berlari mengambil stok bunga yang tersisa.

"Ini kenapa ada puntung rokok murahan disini?" Kembali sang juragan berteriak.

Kali ini pekerja wanita yang sedikit berumur yang menghampiri sembari membawa sapu lidi.

Dengan sedikit membungkuk, wanita itu menyapu puntung rokok juga beberapa sampah plastik.

Juragan Bondan kembali berkeliling. Memeriksa detail dekor yang terpasang, juga panggung yang sudah tertata.

"Sound sudah dicek? Jangan samapai fals!" Nada suara juragan tidak menurun sedikit pun.

"Beres juragan." Jawab salah seorang pria buncit yang bertugas dibagian sound.

"Jangan pakai gitar itu. Gitar murah, kok, dipake. Pakai yang punya saya saja. Tapi jangan sampai rusak! Mahal itu!" Juragan masuk kedalam rumah mengambil gitar yang katanya mahal.

"Nih! Coba bandingkan suaranya!" Perintah juragan Bondan.

Pria buncit menurut. Dia memainkan gitar bersenar itu.

"Suaranya merdu, kan? Gitar mahal!" Juragan menyombong. "Sini kembalilan. Pakai punyamu saja." Juragan mengambil kembali gitarnya.

"Halah, suaranya sama saja!" Ucap pria buncit pada temannya, setelah juragan Bondan pergi menjauh.

"Kita hanya diberi air putih?" Pria buncit menegak air putih yang disuguhkan menggunakan teko. 

"Syukuri saja. Daripada tidak ada." Timpal temannya.

"Camilannya cuma pisang rebus?" Kembali pria buncit menggerutu.

"Yang penting sudah dibayar lunas. Jangan komentar jelek terus!" Temannya yang bertubuh kurus itu, selalu memberikan tanggapan positif.

"Mau ada acara apa, pak? Juragan mau hajatan?" Tanya kakek berkopiah, pada pria buncit.

"Tidak tahu, kek. Kami hanya disuruh datang. Memasang tenda dan lain-lain. Juga, menyiapkan sound." Pria buncit menjawab.

"Lha, kakek siapa?" Tanyanya.

"Saya, tetangganya. Itu rumah saya." Kakek menjawab sambil menunjukan rumah bilik bambu yang hanya berjarak sepuluh meter.

"Lha, dalah. Kakek tetangga dekat, masa tidak tahu ada acara besar begini?" Pria buncit terkejut.

"Lho, warga disini banyak yang bertanya-tanya ada kegiatan apa disini. Kok, sepertinya meriah benar." Jawab Kakek.

"Tadi, juragan bilang mengundang kepala desa juga, lho. Acaranya nanti malam. Ada dangdutan juga." Celoteh pria buncit sambil menggaruk perutnya yang melendung seperti mengandung.

"Ooo, kalau begitu undangan hanya untuk tamu penting. Palingan pak RT dan RW saja nanti yang datang." Kakek manggut-manggut.

Tiba-tiba wanita yang tadi menyapu puntung rokok datang ikut nimbrung.

"Ini acara apa, sih? Saya kok, jadi penasaran. Nikahan gitu atau sunatan? Apa juragan disunat lagi?" Gurau pria buncit, sambil terkekeh.

"Hush, ngawur! Juragan mau menyambut anaknya yang jadi sarjana dikota. Ini katanya lagi dalam perjalanan." Jelas si ibu.

"Anaknya jadi sarjana dirayakan begini? Orang kaya emang agak lain.  Anak saya jadi sarjana langsung saya ultimatum mencari kerja, biar mengurangi beban. Syukur-syukur bisa bantu saya sekolahkan adiknya." Pria buncit tertawa memamerkan deretan giginya yangbtidak rapi.

"Ngapain cari kerja. Wong, bapaknya juragan. Tinggal meneruskan usaha bapaknya. Beres!" Ujar kakek yang masih betah disana.

"Garis nasib orang, beda-beda. Syukuri saja. Beruntung kita masih diberi sehat dan rejeki. Meski air putih dan pisang rebus." Pria kurus ikut berkomentar sambil membuka kulit pisang dan memakan isinya.

Lagi asik berbincang, melepas sedikit rasa lelah. Tiba-tiba terdengar bentakan.

"Kalian saya bayar bukan untuk ngobrol!" Bentak Juragan Bondan. "Rugi dong saya, cuma bayar orang buat bergosip!"

Mereka berempat bubar jalan tanpa instruksi.

Si Ibu berjalan menuju area belakang. Kekak menuju rumahnya dan dua pria beda perawakan kembali ke sound mereka. Pura-pura menyiapkan peralatan yang nyatanya sudah siap.

Juragan berdiri didepan tenda, celingak celinguk entah mencari apa atau menunggu apa. Tidak ada yang menyapa atau menemani, meski beberapa orang berlalu lalang. Mereka memilih menunduk atau menghindar saat melihat sang juragan, yang memiliki wajah dan perawakan mirip suami artis yang terkenal dengan goyang ngebornya. Tampanganya tidak garang tapi suaranya menggelegar dan senang memerintah, anehnya banyak orang yang menuruti perintahnya. Bagaimana tidak, siapa yang menurutinya akan kecipratan rejeki. Paling tidak cukup untuk membeli beras dan lauknya.

Juragan mengeluarkan telepon genggamnya dari saku celana. Terlihat dia seperti sedang menghubungi seseorang karena telepon itu diletakan dikupingnya.

"Tidak bisa dihubungi! Kemana dia itu?" Entah pada siapa juragan bicara.

Telepon genggamnya tidak kembali dimasukan kedalam saku, tapi diketuk-ketukan ditelapak tangannya. Lalu, pindah diketukan diatas meja yang akan dijadikan tempat menaruh makanan prasmanan. 

"Kalau saya yang punya telepon itu, sudah saya bungkus plastik biar tidak rusak." Celetuk pria buncit, saat melihat ulah juragan.

Didesa sudah tidak asing dengan telepon genggam. Hampir semua warganya punya. Hanya saja milik juragan Bondan selalu yang termewah dan keluaran terbaru. Kepala desa saja kalah pamor.

Lagi, juragan menghubungi seseorang. Dan, kembali menelan kecewa.

"Bocah kemplung!" Umpatnya saat tidak ada balasan dari yang dihubunginya.

Baru saja memaki dengan kata yang tidak sopan. Sebuah mobil sedan berwarna putih biru berhenti tepat didepan tenda. Seketika semua orang yang sok sibuk berhenti dari kesibukannya.

Juragan Bondan menghampiri tamunya yang berjumlah dua orang pria berpakaian rapi.

"Selamat siang, pak. Apa benar ini rumah Bagus?" Sapa salah satu tamunya.

"Iya, Bagus anak saya. Saya bapaknya. Juragan Bondan." Pak Bondan memperkenalkan diri.

Orang yang sok sibuk tadi mendadak menjadikan Juragan Bondan dan tamunya sebagai tontonan.

"Cari Bagus, ya? Bagus ditangkap polisi?" Oceh seorang wanita dengan mulut dimanyun-manyunkan.

"Ngehamilin anak orang kali. Bagus kkan, urakan." Timpal perempuan lainnya ya g juga memanyukan bibirnya.

"Halah, paling narkoba!" Sahut lainnya.

Orang-orang disana kasak kusuk mengomentari juragan Bondan dan Bagus. Kedatangan petugas kepolisian menarik minat mereka untuk lomba berspekulasi. Tidak akan ada yang kalah atau menang kecuali sebuah cibiran.

"Heh, jangan berpikir buruk. Siapa tahu Bagus mendapat penghargaan dari pak Polisi." Komentar pria kurus.

"Tidak mungkin!" Kompak mereka yang sedang membantu juragan berucap.

"Palingan sibagus itu narkoba, terus mabuk, dan menghamili anak orang, lalu tidak mau tanggung jawab!"  Pria buncit membuat rangkuman.

"Halah, semakin parah! Sudah bubar sana. Selesaikan pekerjaan kalian sebelum juragan ngamuk!" Pria kurus membubarkan kerumunan.

Belum juga bubar, terdengar suara meraung keras berasal dari juragan Bondan.

"Lho, juragan kenapa?"

Kembali mereka berkerumun. Istri juragan yang tadi sedang dirias oleh MUA langsung keluar kamar.

"Ada apa, Kang Mas?" Tanyanya sembari menghampiri suaminya.

"Percuma, Bu. Percuma! Bubarkan acaranya! Rugi aku!" Juragan Bondan menaik-naikan tangannya. Seolah sedang menari meliuk-liuk.

"Bubarkan semuanya. Bubar!" Teriaknya.

Istri juragan kebingungan dengan sikap suaminya. "Ada apa? Aku tidak paham."

"Anakmu itu keterlaluan. Dia  membohongiku! Dia bukan sarjana, dia tidak kuliah diunipersitas. Tapi, kuliah dipenjara! Dan, sekarang malah berulah pula disana!"

"Tidak mungkin! Dia masih menghubungiku semalam." Sanggah istri juragan sambil telunjuknya menunjuk kearah dirinya.

"Anakmu bikin malu!" Bentak juragan Bondan.

"Ya, anakmu juga, tho!"

Pak polisi yang melihat drama suami istri itu mencoba menengahi. Pak polisi mengulangi penjelasannya kepada istri juragan.

Sang istri juragan, ibunya Bagus, menangis sesenggukan.

Anak lelaki yang dibangga-banggakan pada tetangga dan kerabat nyatanya terlibat kasus pencurian dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang.

Materi yang selama ini dikirimkan hasil kerja keras orang tuanya hanya menjadi angin lalu. Karena, anaknya masih mencuri. Bahkan, saat dibui pun dia masih menipu orang tuanya sendiri dengan meminta sejumlah uang dengan alasan wisuda, nyatanya digunakan untuk memuluskan obat busuknya masuk kekamar selnya. Kepercayaan orangtuanya dihancurkan begitu saja.

"Haduh, kalau begini aku jadi rindu anakku. Dia belum jadi sarjana, tapi membantuku mencari uang." Ucap si ibu penyapu.

"Sudah kubilang syukuri saja yang kita punya. Punya banyak ya, berbagi. Punya sedikit ya, puasa." Ucap Pria kurus.

Dia membereskan gitar murahnya. Entah bagaimana acara ini jadinya.

"Rugi aku!" Teriak juragan Bondan.

Entah merasa rugi memiliki anak seperti Bagus, atau rugi karena sudah mengeluarkan banyak materi untuk anaknya. Bahkan, menyiapkan sambutan untuk anaknya yang ternyata sia-sia.

Perisapan sambutan itu ternyata untuk menyambut berita buruk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun