"Garis nasib orang, beda-beda. Syukuri saja. Beruntung kita masih diberi sehat dan rejeki. Meski air putih dan pisang rebus." Pria kurus ikut berkomentar sambil membuka kulit pisang dan memakan isinya.
Lagi asik berbincang, melepas sedikit rasa lelah. Tiba-tiba terdengar bentakan.
"Kalian saya bayar bukan untuk ngobrol!" Bentak Juragan Bondan. "Rugi dong saya, cuma bayar orang buat bergosip!"
Mereka berempat bubar jalan tanpa instruksi.
Si Ibu berjalan menuju area belakang. Kekak menuju rumahnya dan dua pria beda perawakan kembali ke sound mereka. Pura-pura menyiapkan peralatan yang nyatanya sudah siap.
Juragan berdiri didepan tenda, celingak celinguk entah mencari apa atau menunggu apa. Tidak ada yang menyapa atau menemani, meski beberapa orang berlalu lalang. Mereka memilih menunduk atau menghindar saat melihat sang juragan, yang memiliki wajah dan perawakan mirip suami artis yang terkenal dengan goyang ngebornya. Tampanganya tidak garang tapi suaranya menggelegar dan senang memerintah, anehnya banyak orang yang menuruti perintahnya. Bagaimana tidak, siapa yang menurutinya akan kecipratan rejeki. Paling tidak cukup untuk membeli beras dan lauknya.
Juragan mengeluarkan telepon genggamnya dari saku celana. Terlihat dia seperti sedang menghubungi seseorang karena telepon itu diletakan dikupingnya.
"Tidak bisa dihubungi! Kemana dia itu?" Entah pada siapa juragan bicara.
Telepon genggamnya tidak kembali dimasukan kedalam saku, tapi diketuk-ketukan ditelapak tangannya. Lalu, pindah diketukan diatas meja yang akan dijadikan tempat menaruh makanan prasmanan.Â
"Kalau saya yang punya telepon itu, sudah saya bungkus plastik biar tidak rusak." Celetuk pria buncit, saat melihat ulah juragan.
Didesa sudah tidak asing dengan telepon genggam. Hampir semua warganya punya. Hanya saja milik juragan Bondan selalu yang termewah dan keluaran terbaru. Kepala desa saja kalah pamor.