Mohon tunggu...
emra azzahra
emra azzahra Mohon Tunggu... writer

emra az zahra 3724078 mbs 3c

Selanjutnya

Tutup

Financial

UMKM di Persimpangan Digital: Antara Peluang Emas dan Jurang Kesenjangan Literasi

4 Oktober 2025   18:53 Diperbarui: 4 Oktober 2025   18:53 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Sebagai mahasiswa yang pastinya akan terjun ke dunia nyata, pasti sering mendengar narasi bahwa Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) itu adalah backbone atau tulang punggung perekonomian Indonesia. Toh, data enggak bisa bohong, kontribusi UMKM ke Produk Domestik Bruto (PDB) itu besar banget dan jadi penyerap tenaga kerja utama.

Nah, sekarang, kita ada di era disrupsi digital, di mana TikTok Shop, e-commerce, dan dompet digital bukan lagi barang baru, tapi sudah jadi lifestyle. Di situasi inilah, UMKM kita dihadapkan pada dua skenario ekstrem: peluang emas untuk scale up atau jurang kesenjangan literasi yang bisa bikin mereka tergerus zaman.

Dari sudut pandang ekonomi mikro, digitalisasi ini adalah faktor produksi baru yang revolusioner. Di teori ekonomi mikro, kita bicara soal alokasi sumber daya yang efisien dan bagaimana perusahaan (UMKM, dalam hal ini) membuat keputusan di tingkat individual.

 *Ekspansi Pasar (Peningkatan Permintaan):

   Secara tradisional, jangkauan pasar UMKM itu lokal. Warung makan di depan kampus kita ya pasarnya mahasiswa di sekitaran situ aja. Begitu masuk platform digital, biaya transaksi dan jangkauan pasar bisa menyeluruh. Produk yang tadinya cuma dijual di satu kecamatan, sekarang bisa diakses se-Indonesia. Ini secara langsung menggeser kurva permintaan UMKM ke kanan (Demand Curve Shift). Artinya, dengan harga (P) yang sama, kuantitas barang yang diminta (Q) akan meningkat. Demand makin gede, potensi profit juga makin tebal.

 * Efisiensi Biaya (Penurunan Biaya Produksi):

   Digitalisasi memungkinkan UMKM menekan biaya rata-rata produksi (Average Cost). Misalnya, mereka tidak perlu lagi sewa ruko mahal di pinggir jalan raya. Biaya promosi cetak yang mahal diganti dengan iklan di media sosial yang biayanya relatif lebih rendah. Pencatatan keuangan yang dulunya manual dan rawan human error diganti aplikasi digital yang efisien. Efisiensi ini, dalam jangka panjang, bisa bikin UMKM mencapai skala ekonomi yang lebih baik, di mana biaya per unit makin turun seiring makin besarnya volume produksi.

Inilah peluang emas itu. Transformasi digital memberikan UMKM senjata yang setara untuk bersaing dengan perusahaan besar, setidaknya di pasar online.

Sayangnya, realitas di lapangan enggak semulus di atas kertas. Peluang yang lebar ini terbentur tembok tebal bernama kesenjangan literasi digital. Literasi di sini bukan cuma soal bisa pakai smartphone, tapi juga kemampuan menggunakan teknologi untuk tujuan bisnis: digital marketing, manajemen inventori berbasis aplikasi, hingga penggunaan e-wallet atau Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) untuk mempermudah transaksi.

Dari kacamata ekonomi mikro, masalah literasi ini menciptakan hambatan di sisi suplai (Supply Side Constraint):

 * Biaya Keterampilan dan Pelatihan (Training Cost):

   Banyak UMKM, terutama yang dikelola generasi senior, merasa asing dengan teknologi. Mengubah pola pikir dan menguasai skill digital memerlukan waktu, tenaga, dan uang untuk pelatihan. Bagi usaha mikro yang keuntungannya tipis, biaya ini terasa sangat memberatkan, dan mereka cenderung memilih untuk tetap di zona nyaman (pasar tradisional) meskipun potensi pertumbuhannya terbatas.

 * Inefisiensi Alokasi Sumber Daya:

   Karena minim literasi, banyak UMKM yang sudah go digital tapi tidak optimal. Misalnya, punya akun Instagram tapi isinya asal-asalan, atau sudah join e-commerce tapi tidak tahu cara mengoptimalkan kata kunci. Ini adalah contoh inefisiensi, di mana mereka sudah mengalokasikan sumber daya (waktu dan uang) untuk digitalisasi, tapi output-nya (penjualan) tidak maksimal. Sumber daya terbuang, yang mestinya bisa dipakai untuk inovasi produk.

 * Keterbatasan Akses Modal:

   Digitalisasi seringkali butuh modal awal untuk infrastruktur (laptop, sistem kasir digital). UMKM yang punya pembukuan amburadul karena masih manual, kesulitan mengakses permodalan dari perbankan atau fintech karena rekam jejak keuangan mereka tidak bankable. Literasi keuangan digital yang rendah pun membuat mereka rentan terhadap pinjaman online ilegal. Ini makin memperlebar jurang antara UMKM yang bisa naik kelas dan yang stagnan.

UMKM tidak bisa dibiarkan berjuang sendiri di persimpangan ini. Jika kesenjangan literasi terus melebar, yang terjadi adalah kegagalan pasar (Market Failure) karena sumber daya (teknologi) tidak teralokasi secara merata dan efisien.

Solusinya, peran pemerintah dan akademisi (kita, nih) harus diperkuat. Program pendampingan yang sifatnya hands-on, bukan sekadar seminar, perlu digalakkan. Pelatihan harus menyentuh hal paling dasar, mulai dari cara foto produk yang menarik pakai smartphone, hingga pencatatan keuangan sederhana menggunakan aplikasi.

Dengan meningkatnya literasi digital, UMKM bisa sepenuhnya memanfaatkan booming teknologi. Mereka bisa memproduksi barang lebih efisien, memasarkan lebih luas, dan akhirnya, menaikkan omzet. Kenaikan omzet ini berarti peningkatan pendapatan di tingkat mikro, yang secara agregat akan memperkuat pertumbuhan ekonomi makro nasional.

Jadi, digitalisasi itu harus jadi alat inklusi ekonomi, bukan malah jadi faktor yang menyingkirkan pelaku usaha kecil. Kalau UMKM kita semua melek digital, bukan cuma kita yang untung, tapi juga perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

Gimana, siap jadi agent of change yang bantu UMKM di sekitar kita buat go digital?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun