Banyak UMKM, terutama yang dikelola generasi senior, merasa asing dengan teknologi. Mengubah pola pikir dan menguasai skill digital memerlukan waktu, tenaga, dan uang untuk pelatihan. Bagi usaha mikro yang keuntungannya tipis, biaya ini terasa sangat memberatkan, dan mereka cenderung memilih untuk tetap di zona nyaman (pasar tradisional) meskipun potensi pertumbuhannya terbatas.
 * Inefisiensi Alokasi Sumber Daya:
  Karena minim literasi, banyak UMKM yang sudah go digital tapi tidak optimal. Misalnya, punya akun Instagram tapi isinya asal-asalan, atau sudah join e-commerce tapi tidak tahu cara mengoptimalkan kata kunci. Ini adalah contoh inefisiensi, di mana mereka sudah mengalokasikan sumber daya (waktu dan uang) untuk digitalisasi, tapi output-nya (penjualan) tidak maksimal. Sumber daya terbuang, yang mestinya bisa dipakai untuk inovasi produk.
 * Keterbatasan Akses Modal:
  Digitalisasi seringkali butuh modal awal untuk infrastruktur (laptop, sistem kasir digital). UMKM yang punya pembukuan amburadul karena masih manual, kesulitan mengakses permodalan dari perbankan atau fintech karena rekam jejak keuangan mereka tidak bankable. Literasi keuangan digital yang rendah pun membuat mereka rentan terhadap pinjaman online ilegal. Ini makin memperlebar jurang antara UMKM yang bisa naik kelas dan yang stagnan.
UMKM tidak bisa dibiarkan berjuang sendiri di persimpangan ini. Jika kesenjangan literasi terus melebar, yang terjadi adalah kegagalan pasar (Market Failure) karena sumber daya (teknologi) tidak teralokasi secara merata dan efisien.
Solusinya, peran pemerintah dan akademisi (kita, nih) harus diperkuat. Program pendampingan yang sifatnya hands-on, bukan sekadar seminar, perlu digalakkan. Pelatihan harus menyentuh hal paling dasar, mulai dari cara foto produk yang menarik pakai smartphone, hingga pencatatan keuangan sederhana menggunakan aplikasi.
Dengan meningkatnya literasi digital, UMKM bisa sepenuhnya memanfaatkan booming teknologi. Mereka bisa memproduksi barang lebih efisien, memasarkan lebih luas, dan akhirnya, menaikkan omzet. Kenaikan omzet ini berarti peningkatan pendapatan di tingkat mikro, yang secara agregat akan memperkuat pertumbuhan ekonomi makro nasional.
Jadi, digitalisasi itu harus jadi alat inklusi ekonomi, bukan malah jadi faktor yang menyingkirkan pelaku usaha kecil. Kalau UMKM kita semua melek digital, bukan cuma kita yang untung, tapi juga perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Gimana, siap jadi agent of change yang bantu UMKM di sekitar kita buat go digital?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI