Sebagai mahasiswa yang pastinya akan terjun ke dunia nyata, pasti sering mendengar narasi bahwa Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) itu adalah backbone atau tulang punggung perekonomian Indonesia. Toh, data enggak bisa bohong, kontribusi UMKM ke Produk Domestik Bruto (PDB) itu besar banget dan jadi penyerap tenaga kerja utama.
Nah, sekarang, kita ada di era disrupsi digital, di mana TikTok Shop, e-commerce, dan dompet digital bukan lagi barang baru, tapi sudah jadi lifestyle. Di situasi inilah, UMKM kita dihadapkan pada dua skenario ekstrem: peluang emas untuk scale up atau jurang kesenjangan literasi yang bisa bikin mereka tergerus zaman.
Dari sudut pandang ekonomi mikro, digitalisasi ini adalah faktor produksi baru yang revolusioner. Di teori ekonomi mikro, kita bicara soal alokasi sumber daya yang efisien dan bagaimana perusahaan (UMKM, dalam hal ini) membuat keputusan di tingkat individual.
 *Ekspansi Pasar (Peningkatan Permintaan):
  Secara tradisional, jangkauan pasar UMKM itu lokal. Warung makan di depan kampus kita ya pasarnya mahasiswa di sekitaran situ aja. Begitu masuk platform digital, biaya transaksi dan jangkauan pasar bisa menyeluruh. Produk yang tadinya cuma dijual di satu kecamatan, sekarang bisa diakses se-Indonesia. Ini secara langsung menggeser kurva permintaan UMKM ke kanan (Demand Curve Shift). Artinya, dengan harga (P) yang sama, kuantitas barang yang diminta (Q) akan meningkat. Demand makin gede, potensi profit juga makin tebal.
 * Efisiensi Biaya (Penurunan Biaya Produksi):
  Digitalisasi memungkinkan UMKM menekan biaya rata-rata produksi (Average Cost). Misalnya, mereka tidak perlu lagi sewa ruko mahal di pinggir jalan raya. Biaya promosi cetak yang mahal diganti dengan iklan di media sosial yang biayanya relatif lebih rendah. Pencatatan keuangan yang dulunya manual dan rawan human error diganti aplikasi digital yang efisien. Efisiensi ini, dalam jangka panjang, bisa bikin UMKM mencapai skala ekonomi yang lebih baik, di mana biaya per unit makin turun seiring makin besarnya volume produksi.
Inilah peluang emas itu. Transformasi digital memberikan UMKM senjata yang setara untuk bersaing dengan perusahaan besar, setidaknya di pasar online.
Sayangnya, realitas di lapangan enggak semulus di atas kertas. Peluang yang lebar ini terbentur tembok tebal bernama kesenjangan literasi digital. Literasi di sini bukan cuma soal bisa pakai smartphone, tapi juga kemampuan menggunakan teknologi untuk tujuan bisnis: digital marketing, manajemen inventori berbasis aplikasi, hingga penggunaan e-wallet atau Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) untuk mempermudah transaksi.
Dari kacamata ekonomi mikro, masalah literasi ini menciptakan hambatan di sisi suplai (Supply Side Constraint):
 * Biaya Keterampilan dan Pelatihan (Training Cost):