"Aaagghh!" Iblis berteriak jengkel.
"Ya Allah, Engkau tidak adil. Kenapa aku tidak tahu kebijakan Mu yang baru? Bukankah aku hamba mu?"
Iblis merasa berhak mengetahui segala hal yang terjadi di langit dan bumi. Toh, dia pernah menjadi penghuni surga bersama para malaikat. Dia mantan penduduk surga yang super, sebelum penciptaan manusia bernama Adam.
Mata iblis pun kehilangan sinarnya, seperti malam yang kelam tanpa bintang dan rembulan. Kemudian ia menangis sesenggukan, air mata berlinang  mengalir deras membentuk sungai kecil dan menyatu dengan lautan. Isaknya menggetarkan permukaan bumi.
Sang Patih tergopoh-gopoh menemui rajanya. Ia merasakan kesedihan yang mendalam dari getaran yang mengguncang istana. Ada apa gerangan, belum pernah Patih mengalami hal ini.
Ia takjub melihat iblis terpekur di atas singgasana dengan wajah bermuram durja. Secara perlahan ia mendekati iblis, lalu berbicara lemah lembut seperti kepada anak kecil.
"Yang mulia, ada apa gerangan? Tangis yang mulia telah membuat gempa bersusulan. Padahal kita tidak punya rencana membuat tsunami".
"Patih," iblis menjawab dengan terbata-bata. "Aku mau pensiun saja."
Patih terkejut, mulutnya menganga. Apa ia tidak salah dengar? Masa iblis mau pensiun? Nanti manusia aman dan tenteram dong.
"Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa yang mulia ingin pensiun. Bukankah tugas kita menggoda manusia belum selesai hingga kiamat tiba?"
"Aku tak peduli. Kalian saja yang meneruskan. Aku mau istirahat duluan."