Mohon tunggu...
Denny Boos
Denny Boos Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Perempuan asal Tobasa. Menyukai hal-hal sederhana. Senang jalan-jalan, photography, sepedaan, trekking, koleksi kartu pos UNESCO. Yoga Iyengar. Teknik Sipil dan Arsitektur. Senang berdiskusi tentang bangunan tahan gempa. Sekarang ini sedang ikut proyek Terowongan. Tinggal di Berlin.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[My Diary] Untuk Ibu

12 April 2016   21:18 Diperbarui: 14 April 2016   20:59 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="My Diary"][/caption]My Diary,

Boleh aku bertanya, "seberapa sayangmu pada Ibu?"

"Kalau aku, tak terhingga!"

Guru matematika bilang "tak terhingga" itu adalah angka yang tidak bisa diurai. Begitu juga rasa sayang dan hormatku pada Ibu. Aku mengagumi sosoknya yang cerdas dan tegas, pun mengagumi kerja keras dan tertawanya yang lepas. Rasanya, aku terus kekurangan waktu ketika sudah mulai ngobrol-ngobol dengan Ibu. Kenyamanan itu yang membuatku selalu mengekor sama mereka, bahkan ketika Bapak pensiun lalu bertanya mau di Jakarta atau ikut pulang kampung. Aku memilih ikut mereka."Udara di kampung lebih sejuk dan juga banyak sanak saudara." begitu kata Bapak meyakinkanku dulu.

Tidak lama juga kami di kampung. Perjalanan waktu menggeser banyak prioritas. Lulus SMA, mau tidak mau aku ke Jakarta melanjutkan kuliah. Nyatanya, mereka juga nggak betah lagi di kampung. "Anak dan pahompu (cucu) semua di Jakarta. Sudahlah!", begitu kata mereka. Rasa geli dan senang berbaur menjadi satu. "Lah, kemarin itu siapa yang mau?"

Aku belajar dari cara Ibu yang dalam banyak hal selalu menghormati keputusan Bapak, bahwa kebahagiaan itu lentur mengikuti pergerakan hati. Kata sepakat yang tulus dari pasangan, memberikan dampak yang luar biasa dalam sebuah perjalanan dan pekerjaan.

Dear Diary,

Ibu mendidik kami berduabelas dengan kasih sayang. Jangan kaget! Iya, kami duabelas bersaudara dan aku anak bungsu. Kamu tau, kita nggak pernah dimarahi. Nggak ada yang ingat pernah dimarahi. Bahkan kakak-kakak di atas ku menjadikan ini sebagai kebiasaan yang patut diteruskan ke anak-anaknya. "Masa kita nggak pernah dimarahi, lalu sekarang tinggal marah-marah sama anak?" begitu kata si kakak. Tegas, tidak berarti sembarangan memarahi.

Satu hal yang aku pikirkan dulu, bagaimana cara orangtuaku mengendalikan 12 kepala serta mengaturnya? Terutama abang-abangku yang cukup nakal ketika masa akil baliq nya?

Aku tidak bilang ini trik, hanya sebuah pemikiran sederhana yang kudapat seiring perjalananan waktu. Bahwa ketika Ibu dan Bapak membimbing kami dalam fondasi agama yang cukup kuat, satu bagian dari PR mereka selesai. Selanjutnya, kami dikontrol oleh iman yang kami percayai. Siapa juga yang tidak takut dengar neraka? Istilahnya begitu.

Iya, karena bagaimanapun juga kami tidak pernah bertemu satu rumah lebih dari lima anak dengan alasan merantau karena pilihan tempat sekolah. Sementara orangtua kami hanya dua orang. Dan satu lagi yang kuperhatikan dari Ibu, sangat rajin berdoa dan sungguh-sungguh dalam setiap urusan keagamaan. Tidak salah orang bilang bahwa tiang-tiang penyanggah rumahtangga itu adalah Ibu. Doa Ibu. Berbahagialah kami karena Tuhan memberikan kami seorang Ibu yang luar biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun