Benturan Peradaban?
Sekian puluh ribu kilometer jauhnya dari lokasi keganasan perang, kita mendengar berita perang asimetri atau tak berimbang antara israel dan Palestina. Berita simpang siurnya tentu mempengaruhi emosi semua pihak yang menerimanya. Kode perang menurut konvensi jenewa 1949 diperluas tambahan protokol di tahun 1977 dan 2005, jelas jelas mengatur mengenai perilaku dan etika perang pihak pihak yang bertempur, yaitu terutama perlindungan pihak sipil non kombatan yang tak boleh dan harus dilindungi dari akibat pertempuran, terutama kaum sipil tak bersenjata, wanita, kanak kanak, orang tua, rohaniwan, petugas dan personel kesehatan, dokter, jururawat, pasien, dlsbnya yang di beri tanda palang merah dlsbnya. Karena itu, mengapa dunia menentang dan mengutuk keras, serangan serangan yang langsung ditujukan dan sasaran langsung pada kaum sipil tak bersenjata.
Dilain pihak ada anggapan, bahwa karena perang asimetri, maka pelanggaran terhadap konvensi jenewa bukan dianggap sebagai pelanggaran, namun adalah bagian dari perjuangan, karena mereka juga berdalih, toh lawan menjatuhkan bom, roket, mortir, dlsbnya yang juga menyasar korban sipil, sehingga membunuh rakyat sipil. Argumentasi sebagai pembenaran sepihak memang sering diutarakan, namun jelas bahwa tujuan konvensi jenewa adalah melindungi masyarakat sipil, yang memang wajib dipatuhi kedua belah pihak. Sebagaimana juga bencana, kadang kala berakibat kolateral adalah kaum sipil yang tak memiliki daya bela diri, karena memang mereka bukan kombatan yang memang dikhususkan punya tugas seperti itu, yaitu bertugas memusnahkan lawan.
Konvensi jenewa jelas menyatakan, bahwa sipil bukan target atau sasaran suatu pertempuran, karena itu tak boleh menyerang atau membunuh sipil sebagai target/sasaran perang langsung. Bahwa ada korban sipil berjatuhan pada keadaan perang memang besar kemungkinannya, karena mereka berada dekat atau di lingkungan sebuah target atau sasaran perang, misalnya pabrik mesiu, pabrik instalasi penting produksi alat perang, atau kosentrasi kekuatan pasukan. Nah dahulu di Indonesia, seringkali lokasi lokasi pabrik senjata, kosentrasi pasukan, pabrik strategis, gudang perbekalan bahan bakar dijauhkan dari masyarakat sipil, misalnya kota militer di cimahi, bandung. Sirine pada waktu perang atau serangan udara utk memperingatkan masyarakat sipil menjauhi objek sasaran militer, demikian juga peringatan peringatan agar sipil mengungsi, dll.
Karena hukum jenewa, jelas menyatakan sipil bukan target atau sasaran perang, serta mereka bukanlah kombatan/petarung dan tak bersenjata atau bahkan tak mampu melawan. Secara kenyataan, memang sulit membedakan kapan sipil adalah korban kesengajaan sasaran perang, atau karena korban akibat kecelakaan perang, korban sipil tak sengaja dan bukan target perang, sebagai akibat tak langsung serangan salah satu pihak. Kedua belah pihak bisa berdalih dan menuduh, bahwa lawan mereka memang mentargetkan sasaran sipil sebagai korban mereka.
Sayang, belakangan ini berkembang idiologi yang mengembangkan idiologi bengis, bahwa karena perbedaan paham, sipilpun syah untuk dijadikan target atau sasaran perang, yang syah atau diperlakukan sebagai kombatan yang bisa dimusnahkan atau dibunuh. Padahal dalam konvensi jenewapun, tawanan kombatan lawanpun yang telah menyerah, harus diperlakukan dan dihormati dan dijaga kehormatannya sebagai tawanan perang, yang harus dijaga serta tak boleh dihina dan diperlakukan semena mena sebagai manusia, karena para prajurit atau kombatan lawan, masing masing merupakan kombatan atau pejuang yang menerima dan melaksanakan tugas demi kehormatan menjaga dan melindungi negara maupun atasannya masing, sehingga mereka memiliki dan diberi hak serta dijaga kehormatannya, tak boleh dihina maupun dilecehkan kehormatannya.
Malangnya, dalam perkembangan terakhir, karena perang tak simetri ini, banyak kombatan ataupun pemimpin pemimpin perang yang tak dididik mungkin juga dari kalangan uneducated/terdidik ataupun mengetahui peraturan perang konvensi jenewa, dan mereka beranggapan serta berprinsip, bahwa semua masyarakat dan komponen masyarakat mereka adalah pejuang dan kombatan, seperti yang kita lihat korban korban penistaan tawanan perang militer suriah, irak atau pembunuhan terhadap tawanan perang kol.kadafy tanpa proses hukum, dllnya. Akibatnya pendapat tersebutpun diterapkan dan disebarkan pada dunia luar, sehingga semua masyarakat musuh mereka, mulai anak kecil, wanita, orang tua adalah dianggap kombatan lawan sehingga syah dan boleh dibunuh dengan cara apapun juga, bandingkan dengan prinsip masyarakat purba, baik era abad awal awal peradaban manusia sehingga masa dinasti Moghul/Mongol, dlsbnya, sampai munculnya konvensi jenewa setelah perang dunia kedua dan pengalaman perang dunia pertama, terutama tentang perlakuan terhadap tawanan perang, yang melihat kekejian maupun kekejaman pada masyarakat sipil maupun tawanan perang. Karena itulah, mengapa terorism yang sengaja menyasar kaum sipil tak bersenjata, yang tak mampu melawan berhadapan secara jantan dan sebagai sesama kombatan mereka sangat ditentang dan dianggap pengecut, dimanapun didunia, dinegara negara yang beradab!
Kembali ke masalah perang Israel dan Palestina, disitu pula nampak adanya perbedaan konsepsi maupun perbedaan doktrin perang tersebut, bagi mereka yang masih mampu mengamatinya secara jujur. Memang kekejaman perang menunjukkan keadaan yang sulit dipilah pilah, terutama bagi mereka yang jadi sasaran, atau korban kolateral suatu peperangan. Mengenai peristiwa ini, seorang Imam Perancis keturunan Maroko, memberi suatu komentar, yang tentu saja bakal membuat pendapat pembaca pada sikap pro atau kontra, namun ada kebenaran yang patut dan perlu disimak, yaitu apakah memang ada dan terjadi pelanggaran konvensi jenewa pada kedua belah pihak. Imam tersebut adalah Rachid Birbach menentang Hamas yang menggunakan perisai manusia sebagai pelindungnya, serta menentang ekstremism, baik yang dilakukan oleh islamis maupun Israel, pada debat televisi France TV 24 Juli 24. (Tonton videonya disini)
Ia menyatakan kepedihan hati yang amat sangat, dan menyatakan bahwa ini bukanlah perang antara Israel-Palestina, tetapi merupakan sengketa antara Israel dan Hamas. Ia tak bisa mengerti, mengapa Hamas menentang perdamaian dengan cara tak masuk akal seperti ini. Mereka menentangnya, saat usulan diplomasi Mesir mengajukan saran gencatan senjata. Rachid pribadi, sangat mendukung Gaza dan Palestina, namun ia menentang himpitan atau tekanan pada mereka. Rakyat Palestina terperangkap antara tumpukan batu dan kedudukan yang sulit yaitu, terjebak antara pemboman israel, serta penyalahgunaan dan pemanfatan terjepit oleh himpitan kepungan laskar Hamas. Belakangan bahkan lebih menakutkan, Hamas justru menggunakan mereka sebagai tameng hidup mereka.
Bahkan Hamas terang terangan menyiarkan tentang kisah keberhasilan strategi mereka menggunakan perisai hidup selama Operasi proteksi mata pisau, dimana IDF mempublikasikan kenyataan maraknya praktek praktek tersebut. Sebaliknya IDF telah menjatuhkan leaflet leaflet, pesan pesan lewat telepon, serta mengeluarkan peringatan peringatan umum pada seluruh kaum sipil Palestina agar terhindar dari korban perang, karena bakal ada serangan udara Israel.
Perbedaan sudut pandang maupun peradaban yang bersifat bertolak belakang, jelas akan menambah tingkat kesulitan dalam upaya menyelaraskan pandangan kedua peradaban tersebut, disatu pihak diharapkan melindungi dan menghindarkan sipil dari dampak perang ataupun digunakan sebagai sasaran korban langsung suatu sengketa atau perang, sedangkan dipihak lain menganggap bahwa kaum sipilpun adalah merupakan bagian dari kombatan lawan atau musuh, dianggap juga sebagai sumber daya atau sumber pasokan kombatan mereka. Perbedaan ini memang sulit dipahami oleh kedua belah pihak, namun yang jelas terjadi, adalah telah berjatuhan ratusan bahkan ribuan korban sipil tak bersenjata, yang sedikitpun tak mampu menentang maupun melawan, bagai kerbau dicocok hidung dibantai tanpa ampun dan belas kasihan. Bahkan belas kasihanpun pantang disisakan, karena dianggap akan menurunkan dan melemahkan semangat sebagai pejoang.