Mohon tunggu...
Emanuel Ardi Chrisantana
Emanuel Ardi Chrisantana Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Saya adalah seorang pelajar yang sedang belajar

.....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penantian

23 Maret 2024   09:32 Diperbarui: 23 Maret 2024   09:37 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah aku berani mengatakan apa-apa saja yang ada didalam hatiku. Serentak semua prajurit berderap, baris-berbaris menuju peperangan. Dan di depan barisan itu diriku lah yang memimpin Kompi T. Memegang sepucuk senjata, mengarahkan moncong yang hitam kepada tanah. Belum ada tanda-tanda musuh akan menyergap. Semakin jauh kami berbaris, semakin terdengar ledakan-ledakan dan teriakan demi teriakan mulai memekakan telinga. Dan, tiba-tiba suara lengkingan bom jatuh. Meledakkan tanah, membuat pasukan ku kocar-kacir, lari ke tunggang-langgang ke segala arah. Suara rentetan senapan mesin yang mengoyak daging disusul suara teriakan pasukanku. Yang bisa bertahan ku suruh untuk membalas tembakan. Teriakan musuh adalah jawaban dari tembakan kami. Adu tembak-menembak terus saja terjadi. Sialnya kami kalah jumlah. Dan aku melihat semua prajuritku, semua teman-teman seperjuanganku, lari kocar-kacir.

Kapan Kamu Kembali?

Peperangan terus saja membuat korban-korban baru. Nia, Aku dan teman-teman perawatku sudah banyak sekali membantu dokter-dokter untuk mengobati, menjahit, memperban, merawat mereka yang terluka. Pedih rasanya melihat korban-korban perang ini. Mereka yang terkoyak dagingnya. Mereka yang hanya berhenti berteriak saat sudah diberikan banyak sekali dosis obat penenang. Semakin sedih sampai kesedihan ini menusuk hatiku. Aku melihat mereka yang tersisa dari yang menggunakan tanda pengenal kompi T adalah mayat. Mayat yang sudah sedemikian penuh dengan luka tembak dan hancur. Entah badannya, kepalanya, tangan atau kaki. Intinya hancur. Sampailah saat dimana prajurit Kompi T masih hidup.

"Kamu, siapa namamu?" tanyaku kepadanya, menginginkan jawaban dari insan yang hanya bisa berbicara. Tak bisa lagi melihat.

"Aku tak tahu lagi siapa namaku!" ia berteriak kian histeris. Dan meronta-ronta untuk melepaskan dirinya dari perban.

"Apakah kamu melihat Kapten Axel?" tanyaku lembut. Mendadak ia berhenti meronta-ronta.


"Kapten Axel? Kapten dengan gagah berani menembaki musuh bahkan saat darah mulai merembes dari luka-lukanya." ucapnya dengan penuh senyuman. 

"Bahkan saat pasukannya lari kesana kesini. Ia lari menuju benteng musuh. Tak hanya melukai, Ia pun bisa menolong kami. Memberikan morphine kepada mereka yang terluka." 

"Lalu sekarang bagaimana keadaannya?" 

"Saat kami masuk kedalam benteng. Ia sudah hilang. Sayang sekali, di benteng tersebut sangat banyak musuh. Rentetan dan serpihan peluru ada dimana-mana. Disanalah aku kehilangan kedua mataku." Jawabnya sambil tertawa. Lalu, dengan segera aku meninggalkannya. 

Aku berjalan kembali ke dalam tendaku. Setelah seharian penuh aku bekerja. Kembali aku menunggumu. Kemanakah kamu Kapten? Aku terus menunggumu. Bahkan saat Kalimantan sudah diambil dan kami harus merebutnya kembali, tanpa bantuanmu Kapten. Bahkan saat kami menembus jauh kembali ke wilayah musuh. Aku bahkan menjadi kepala perawat karena ketekunan ku di sana. Tapi dimanakah kamu yang selalu tampak dingin padahal peduli? Dimanakah dirimu yang selalu terlihat gagah berani bahkan saat semua harapan padam? Mengapa engkau menjadi seorang yang terlihat semakin dingin dengan kepalamu yang tercukur plontos? Mengapa sorot matamu yang menunjukkan keberanian sekarang malah menunjukkan ketakutan yang mendalam bahkan hanya untuk melihatku engkau tak lagi berani? Dimana kaki-kakimu yang dulu sanggup berlari kemana saja, sekarang tinggal tulang? Dimanakah tangan-tanganmu yang dulu sanggup menenteng senjata dan menembakkan senjata, sekarang tak mampu lagi untuk sekedar bersalaman? Mengapa Kapten? Padahal engkau berkata bahwa aku adalah malaikat. Mengapa dengan bertemu dan berjanji denganku engkau tak lagi menjadi si Kapten Beruntung? 

<>

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun