Mohon tunggu...
Elshinta Riantica
Elshinta Riantica Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Departemen Biologi

ITS Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengelolaan Pesisir Indonesia, Apa Kabar?

12 April 2020   09:03 Diperbarui: 12 April 2020   09:02 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang. Ribuan gugusan pulaunya menyimpan banyak sumber daya untuk kelangsungan hidup masyarakat di sekitarnya, terutama untuk masyarakat pesisir yang tinggal di dekat pantai.

Wilayah pesisir yang dimaksud ialah suatu daerah pertemuan antara daratan dan lautan. Kawasan pesisir ini menyimpan sumber daya alam yang melimpah dan dimanfaatkan oleh banyak lapisan masyarakat.

Seiring dengan peningkatan pertumbuhan penduduk di Indonesia, pemanfaatan sumber daya alam dari pesisir juga kian bertambah, termasuk pemanfaatan ruang wilayah pesisir untuk pembangunan industri, pemukiman, sektor wisata dan lain-lain. Hal ini akan menyebabkan tekanan ekosistem di kawasan pesisir sehingga dapat memungkinkan terjadinya dampak sosial maupun lingkungan yang dialami oleh banyak pihak, terutama masyarakat yang berdomisili di pesisir.

Dengan ini kawasan pesisir memerlukan pengelolaan yang tepat dan terpadu agar tata kelola lingkungan di sekitarnya menjadi lebih dinamis dan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat dan elemen yang lain, termasuk kehidupan biota pesisir dan laut. Penerapan konsep pengelolaan pesisir secara terpadu memang masih menjumpai banyak rintangan dan hambatan, terutama untuk koordinasi antara pemerintan dan masyarakat di sekitarnya.

Paradigma masyarakat yang mengelola secara langsung potensi sumber daya pesisir banyak yang beranggapan bahwa pengelolaan yang dilakukan selama ini cenderung bersifat ekstratif serta didominasi oleh kepentingan ekonomi pusat (pemerintah) daripada ekonomi masyarakat setempat (pesisir). 

Harapan mereka terhadap pemerintah ialah lebih meningkatkan sikap partisipatif, transparan, efektif dan efisien sehingga dapat mewujudkan tujuan pengeloaan wilayah pesisir secara terpadu.

Kurangnya sikap tersebut oleh pemerintah menjadi salah satu faktor penyebab penyimpangan sikap masyarakat yang melanggar aturan demi memperoleh tujuan pribadinya, yang tidak lain ialah pemenuhan kebutuhan pangan, finansial dan ekonomi lainnya.

Dilansir dari buku ajar pengelolaan wilayah pesisir oleh Rudianto (2019), konsep pengelolaan terpadu yang diterapkan seharusnya menimbang banyak aspek: (1) potensi dan keadaan ekosistem yang ada, (2) Terjalinnya koordinasi antara elemen pengguna ruang pesisir laut seperti industri, migas, pertambangan dan lain-lain, (3) inventarisasi kondisi biofisik seperti oseanografi, geomorfologi, kawasan rawan bencana dan lain-lain, dan (4) Dimensi waktu perencanaan tata ruang berdasarkan horizon perencanaan masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang.

Adapun elemen yang terlibat diantaranya adalah lembaga pemerintah, swasta, dan organisasi kemasyarakatan yang melakukan kegiatan sehari-hari yang di wilayah pesisir. Sinkronisasi antara elemen pengelola penting dilakukan guna mewujudkan keterpaduan konsep pengelolaan yang mencakup beberapa aspek.

Diambil dari jurnal kelautan (Effendi, 2009) aspek tersebut diantaranya : Keterpaduan ekologis, mempertimbangkan aspek daratan dan lautan dimana lokasi pesisir terletak demi meminimalisir adanya dampak bencana yang terjadi karena aktifitas di laut maupun di darat. Keterpaduan sektoral dibutuhkan untuk menghindari tumpang tindih pemanfaatan sumberdaya pesisir oleh masyarakat maupun instansi.

Keterpaduan disiplin ilmu mempertimbangkan wilayah pesisir memiliki sifat dan karakteristik yang unik dan spesifik, baik sifat dan karakteristik ekosistem pesisir maupun sifat dan karakteristik sosial budaya masyarakatnya. Oleh karena itu dibutuhkan keterpaduan disiplin ilmu dalam pengelolaan wilayah pesisir. 

Keterpaduan stakeholder menjadi penunjang yang sangat penting dalam pengelolaan pembangunan dimana harus menggunakan pendekatan dua arah (top down dan bottom up) demi terciptanya keselarasan elemen pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.

Berdasarkan konsep pengelolaan yang sudah terbentuk itu, masih banyak kendala yang dihadapi pemerintah maupun masyarakat. Secara alamiah, masyarakat pesisir merupakan elemen yang terjun langsung dalam pemanfaatan potensi sumber daya pesisir beserta pengelolaannya, namun karena latar belakang pendidikan dan pengalaman masyarakat pesisir yang kurang maka potensi sumber daya tersebut tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal.

Sebagai pemerintah seharusnya turut serta dalam pengembangan sumber daya masyarakat pesisir demi terciptanya masyarakat yang mampu mengembangkan dan mengolah sumber daya pesisir menjadi sektor yang menjanjikan. 

Selama ini terlihat bahwa kedua elemen ini seolah berjalan sendiri-sendiri, dimana pemerintahan melakukan pengelolaan demi kepentingan  pusat, sedangkan masyarakat melakukannya demi mendapat hasil sumber daya pesisir dalam jumlah banyak sehingga mampu memenuhi kebutuhan keuangannya.

Terlebih apabila pemanfatan dan pengelolaan daerah pesisir yang dilakukan oleh masyarakat maupun daerah sebagian belum memenuhi ketentuan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dan berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi dan kelestarian pesisir dan lingkungannya. 

Eksploitasi sumber daya secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan bahwa sumber daya terdebut dapat diperbarui atau tidak dapat menjadi kelemahan dalam pengelolaan pesisir berbasis masyarakat tanpa bimbingan dan kontroling yang tepat oleh pemerintah.

Adapun permasalahan-permasalahan lain yang ada di kawasan pesisir terkait pengelolaan meliputi: pencemaran, rusaknya habitat fisik, bencana alam, dan pola pikir masyarakat yang cenderung mengikuti adat istiadat yang berlaku meskipun hal itu sudah tidak lagi relevan dengan kehidupan di masa sekarang.

Pencemaran merupakan permasalahan yang memang tidak hanya terjadi di kawasan pesisir. Adanya pencemaran ini sangat mengganggu kelangsungan hidup masyarakat pesisir dan ekosistemnya. Bagi masyarakat, pencemaran ini berdampak pada kesehatan orang-orang yang tinggal di kawasan pesisir, selebihnya pencemaran ini juga akan merusak pemandangan alam pesisir yang notabene merupakan salah satu daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke lokasi tersebut. Sedangkan bagi ekosistem, pencemaran dapat mengganggu fungsi biologis biota pesisir, seperti terbatasnya nutrisi untuk ikan dan terumbu karang, hingga paparan racun yang membahayakan organisme di zona intertidal.

Pencemaran ini juga akan berdampak pada kerusakan habitat fisik wilayah pesisir, meskipun presentase kerusakan yang diakibatkannya tidak cukup besar. Umumnya kerusakan habitat fisik ini disebabkan oleh aktivitas manusia seperti konversi hutan mangrove untuk kepentingan pemukiman, pembangunan infrastruktur, dan perikanan tambak dimana aktivitas tersebut dapat menurunkan kualitas ekosistem di wilayah pesisir. Ekosistem yang paling rentan terjadi kerusakan adalah ekosistem terumbu karang.

Kerusakan ini biasanya disebabkan karena (1) penambangan batu karang untuk bahan bangunan, jalan, dan hiasan; (2) penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, racun, dan alat tangkap ikan tertentu; (3) pencemaran perairan oleh limbah industri, pertanian dan rumah tangga; (4) pengendapan dan peningkatan kekeruhan perairan akibat erosi tanah di darat, penggalian dan penambangan; dan (5) eksploitasi berlebihan sumber daya perikanan karang. Kerusakan habitat fisik kemudian juga akan berdampak menjadi bencana alam dimana ekosistem sebagai penahannya rusak dan tidak dapat menjalankan fungsinya.

Bencana paling umum yang ada di wilayah pesisir adalah abrasi. Seharusnya abrasi ini dapat dihindari dengan adanya ekosistem yang dapat memecah gelombang air laut agar tidak sampai ke daratan (mangrove dan terumbu karang). Apabila salah dua contoh tersebut mengalami kerusakan maka penahan gelombang air laut menjadi tidak ada. Bencana ini jelas akan menimbulkan kerugian yang lebih banyak dibanding pengelolaan ekosistem habitat di daerah tersebut.

Permasalahan-permasalahan ini dianggap lumrah terjadi di lingkungan tempat tinggal mereka, padahal semua itu dapat dikurangi bahkan dihilangkan jika masyarakat memiliki motivasi yang tinggi untuk mengelolanya dengan bijak. Selama ini masyarakat di kawasan pesisir cenderung hanya memikirkan kebutuhan pokok dan cara memenuhinya, termasuk dengan cara yang tidak baik.

Nelayan misalnya, dari dulu hingga kini banyak yang masih menggunakan bahan peledak saat menangkap ikan, dan itu dianggap cara paling efektif demi memperoleh hasil tangkapan yang melimpah padahal tidak disangka bahwa cara tersebut dapat berdampak buruh untuk ekosistem terumbu karang. Adapula masyarakat yang cenderung terbelakang, dimana memiliki pemikiran bahwa orang yang tinggal di kawasan pesisir hanya bisa mencari ikan, padahal banyak potensi perekonomian yang dapat dikembangkan.

Misalnya sebagai pemilik lahan di dekat pantai dapat membuka fasilitas parkir untuk pengunjung atau wisatawan, bisa juga untuk membuka kedai makanan dan toilet umum. Masalah-masalah tersebut sebenarnya bisa diatasi dengan adanya kerjasama antar masyarakat lokal dan pemerintah atau mungkin pihak swasta yang terlibat, tetapi penanganan ini dibutuhkan sinkronisasi dan perlu mengesampingkan kepentingan golongan.

Contoh ketidaksinkronan pengelolaan misalnya adanya pungutan liar atau pungli di kawasan pesisir oleh masyarakat setempat demi memenuhi kebutuhan finansialnya. Hal ini seharusnya tidak terjadi apabila di kawasan tersebut sudah diberlakukan peraturan tentang penarikan biaya kepada pengunjung tempat wisata. Selain itu adanya pungutan tersebut diyakini bukan untuk pengelolaan tempat wisata tetapi untuk kepentingan golongan tertentu.

Demi meminimalisir adanya permasalahan itu, sebaiknya elemen pengelola pesisir melaksanakan kewajibannya dengan seksama agar terwujudnya sistem pengelolaan secara terpadu. Aturan perundang-undangan tentang pengelolaan pesisir secara terpadu juga telah ada dan sangat relevan dengan kondisi sekarang, yang dibutuhkan ialah tindakan tepat dari elemen pengelola untuk menerapkan kebijakan dan kesepakatan yang ada.

Masyarakat sebaiknya juga berupaya untuk terus berkembang dengan memanfaatkan potensi sumber daya pesisir yang ada untuk meningkatkan taraf hidupnya, selain itu kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebaiknya ditingkatkan, karena sebagaimana yang ditetapkan pada peraturan yang berlaku bahwa pemerintah memberikan layanan tak lain juga untuk kebaikan masyarakatnya.

Contoh nyata yang dapat dilakukan pemerintah dalam membantu membenahi permasalahan di wilayah pesisir adalah memberikan bantuan berupa truk pengangkut sampah, memberikan fasilitas pelatihan kerajinan untuk masyarakat di wilayah pesisir, mengelola tempat wisata secara terpadu, memberikan sosialisasi kepada nelayan tentang cara menangkap ikan, membudidaya ikan, hingga melestarikan ekosistem mangrove atau terumbu karang, dan lain sebagainya.

Ketercapaian ini kelak akan menciptakan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan tidak hanya dinikmati oleh masyarakat di sekitarnya tetapi juga dalam lingkup yang lebih luas. Selain itu juga diharapkan bahwa pengelolaan ini akan menurun ke generasi berikutnya agar sumber daya alam pasisir dapat dinikmati oleh keturunan-keturunan yang akan datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun