Mentari mulai tenggelam di ufuk barat, menyisakan semburat jingga di langit sore. Di bawahnya, Alina duduk di atas akar pohon beringin tua di pinggir danau kecil desa mereka. Di sampingnya, terdapat Reynand yang sedang sibuk mengukir kayu dengan pisau kecil.
“Aku suka senja,” kata Reynand tiba-tiba.
Nara menoleh, alisnya terangkat. “Kenapa? Karena warnanya indah?”
Alina menggeleng. “Karena senja itu seperti kita. Ada saat terang, ada saat gelap, tapi tetap indah bersama.”
Reynand tersenyum kecil mendengar filosofi sederhana itu. “Kau benar. Tapi kita lebih dari senja. Kita ini seperti bintang dan bulan tidak pernah saling meninggalkan meski malam datang.”
Mereka tertawa kecil. Sejak kecil, Alina dan Reynand tak terpisahkan. Alina yang ceria dan periang selalu menjadi cahaya bagi Reynand yang pendiam dan penuh perhitungan. Sebaliknya, Reynand selalu menjadi pelindung bagi Alina yang sering bertindak impulsif.
Namun, senja itu berbeda. Reynand membawa kabar yang telah lama ia sembunyikan.
“Lin,” panggilnya pelan.
“Hm?”
“Aku akan pindah ke kota minggu depan.”