Mohon tunggu...
El Sanoebari
El Sanoebari Mohon Tunggu... Penulis - Salah satu penulis antologi buku "Dari Pegunungan Karmel Hingga Lautan Hindia".

Menyukai pekerjaan literasi & kopi | Suka buku filsafat, konseling dan Novel | Jika harus memilih 2 hal saat jenuh saya akan makan banyak dan traveling | Suka belajar hal yang baru | Saya suka berpikir random, demikian dalam menulis | Imajinatif | Saya suka menulis Puisi dan cerpen sejak SD, yang terkubur di dalam laptop | Bergabung menjadi kompasianer merupakan tantangan yang menyenangkan | Saya suka segala hal yang menantang | Cukup ya, terlalu banyak

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Untuk Kerajaan Antah Berantah

14 November 2022   15:08 Diperbarui: 14 November 2022   15:08 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

#1

Untuk kerajaan antah berantah
Tanpa raja, pula tak beraturan
Kala gerimis membasahi buminya
Mata-mata melotot, kaki beranjak hendak berperang
Menyandang pedang hendak menumpahkan darah
Darah sesiapa yang beradu beda
Beda paras, pula riwayat
Riwayat yang mereka sebut-sebut sebagai bukan kita

#2

Dan gerimis pun jadi hujan
Deras
Melumpuhkan kerajaan tak bertuan
Tuan sedang dilanda gundah
Gegabah
Bimbang dan nyaris mati

#3

Lalu..
Angin sepoi melewati kisi-kisi kerajaan antah berantah
Mulut-mulut berteriak menolak barangsiapa yang menjaring angin
Angin yang disebut-sebut sebagai aset kerajaan
Yang akan membawa mereka pada kekuasaan


Kekuasaan di atas kursi busa yang tengah digerogoti tikus
Tikus yang tak tahu malu
Tikur berjiwa pemberani
Berkaki enerjik
Bermata juling tapi jeli
Kursi itu juga lapuk, rawan ambruk

#4

Lalu angin jadi badai yang mengamuk
Badai tak berayah
Ayah sedang sibuk
Mencari palu lalu paku
untuk membaiki kursi kerajaan antah berantah
Tak ada.


Ayah menemukan obat pembunuh tikus
Tapi tikus pandai bekerjasama
Bermain mata dengan ayah


Lalu ayah hanya tersenyum
Menyimpan kembali racunnya
Ia kembali duduk
Nonton televisi untuk berita kesayangan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun