Mohon tunggu...
Elnado Legowo
Elnado Legowo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Kata-kata memiliki kekuatan untuk mengesankan pikiran tanpa menyempurnakan ketakutan dari kenyataan mereka. - Edgar Allan Poe

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Raksasa di Balik Gunung - Part 1

18 Oktober 2023   19:20 Diperbarui: 20 Oktober 2023   12:53 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Elnado Legowo

Pada 17 Maret, udara terasa sangat dingin dengan suhu mencapai 5C. Tetapi empat mahasiswa pertukaran pelajar, Ilmu Sosial dan Budaya, asal Indonesia tetap datang mengisi libur akhir pekan di sebuah pedesaan di Swiss, yaitu Pedesaan Alpenblick. Rencana ini dilakukan secara memaksa di sela waktu senggang, akibat aktivitas kelas yang padat dan jadwal keberangkatan pulang ke negara asal di awal musim panas mendatang.
 
Tentu! Mereka tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan selama masih berada di Swiss, terlebih untuk bertamasya dan mengabadikan momen keindahan panorama alam dan pedesaan. Oleh sebab itulah, Pedesaan Alpenblick menjadi pilihan; karena tempat tersebut adalah salah satu pedesaan yang indah, tapi belum terlalu komersial bagi turis eksternal.
 
Keempat mahasiswa tersebut adalah Chokrin, Dylan, Tiwi, dan Zafia. Meski mereka berada di bidang dan hobi yang sama, tapi keempatnya berasal dari latar belakang dan minat yang beragam.
 
Chokrin adalah mahasiswa pecinta alam sejati dengan semangat petualang tanpa batas, sehingga dia sering menjadi pemandu wisata untuk teman-temannya. Sedangkan Dylan adalah teman dekat Chokrin dan seorang kutu buku, sehingga dia selalu membawa buku-buku tebal dan catatan ke mana pun dia pergi. Meski Dylan bukan pecinta alam tulen, tapi dia memiliki pengetahuan mendalam tentang sejarah dan budaya Swiss. Bahkan Dylan satu-satunya dari mereka yang sangat fasih berbahasa Jerman.
 
Tiwi adalah mahasiswi yang penuh perhatian dan memiliki latar belakang medik, sehingga dia selalu membawa peralatan p3k dan sangat berguna menjadi penasihat medis selama bertamasya. Lalu Zafia adalah gadis tomboy yang penuh antusiasme, serta memiliki bakat alami di berbagai macam olahraga seperti panjat tebing, berenang dan basket.
 
****
 
Pedesaan Alpenblick berada di daerah utara Swiss dan berjarak sekitar 25 mil dari Luzern. Pedesaan itu berdesain konvensional dan terletak di kaki Gunung Ewig, sehingga menarik bagi para wisatawan pecinta suasana pedesaan yang damai dan tenang. Sepanjang jalan setapak, terdapat ladang-ladang kecil yang dikelilingi oleh perbukitan hijau dengan latar belakang puncak yang diselimuti oleh salju yang berseri di bawah sinar matahari.
 
Langit yang cerah memancarkan cahaya biru menawan, membuat suasana sekitar makin sejuk dan segar. Selain dari itu, pedesaan ini dikelilingi lembah hijau dan sungai-sungai kecil, sekaligus pemandangan Pegunungan Alpen yang menambah keindahan alamnya. Beberapa sudut tempat yang berada di dataran lebih tinggi, masih diselimuti oleh lapisan-lapisan salju yang menutupi pepohonan dan tanah.
 
Sedangkan Gunung Ewig juga tidak kalah indah, terutama puncaknya yang dikelilingi oleh langit biru dan awan putih yang memukau siapa saja yang memandangnya. Di bagian puncak gunung tersebut, akan terus diselimuti oleh salju abadi dan tidak pernah hilang, meski di musim panas sekali pun.
 
Namun di balik semua keindahan tersebut, kedatangan mereka disambut oleh suasana yang membingungkan. Tidak ada satu pun orang yang mereka temukan di Pedesaan Alpenblick. Bahkan tidak ada juga tanda-tanda aktivitas manusia di sana. Pertokoan, perkebunan, kedai, hingga perumahan semuanya hampa. Beberapa bangunan juga tampak cacat, bahkan bobrok.
 
Para mahasiswa menduga bahwa itu adalah dampak dari terjangan badai pada 25 Februari lalu -- seperti yang telah diberitakan oleh para media domestik. Sedangkan hilangnya para penduduk, diduga karena mereka masih mengungsi ke wilayah lain. Namun perihal ganjilnya, tidak ada peringatan atau informasi tegas dari pemerintah lokal mau pun media, sehingga mereka tidak menduga bahwa kondisi Pedesaan Alpenblick masih belum pulih.
 
Awalnya mereka ragu untuk melanjutkan tamasya. Akan tetapi, suasana kian dingin dan matahari makin tenggelam. Cahaya mulai berganti ke sebaris lampu-lampu jalan yang redup. Angin berembus makin kencang dan tidak sehat bagi tubuh orang tropis. Berdasarkan nasihat Tiwi yang paham kesehatan, mereka harus segera mencari penginapan terdekat. Sebab, apabila menunggu bus untuk kembali ke Luzern, mereka harus menunggu berjam-jam dengan penuh ketidakpastian di halte yang terbuka.
 
Setelah melakukan penelusuran dengan dibantu oleh informasi dari internet dan buku pandu wisata, akhirnya mereka berhasil menemukan sebuah hotel -- di ujung utara desa dan jauh dari pemukiman -- berdesain dalam gaya arsitektur tradisional Swiss; dengan dinding luar yang terbuat dari kayu alami dan beratap genting merah bata. Bangunan itu terletak di tepi hutan pinus cembra yang tumbuh secara lebat di kaki Gunung Ewig. Itu adalah satu-satunya hotel di Pedesaan Alpenblick.
 
Lantas mereka segera memasuki hotel itu, kemudian disambut oleh suasana hangat dan cukup nyaman. Interior hotel dihiasi dengan furnitur kayu alami yang elegan, beserta lampu-lampu gantung tradisional yang sedikit remang. Kain-kain dan tirai-tirai gorden bermotif tradisional Swiss juga ikut menghiasi jendela-jendela besar.
 
Akan tetapi, dibalik suasana hangat dan nyaman, hotel itu tampak sepi dan kurang terawat baik. Tidak ada satu pun pengunjung yang mereka lihat di hotel itu, termasuk para staf. Hotel itu hanya dijaga oleh seorang Hauswart Tua yang kaku, dingin, dan terlihat resah dengan kedatangan mereka; yang sedang duduk di meja resepsionis. Lantas para mahasiswa itu segera memesan dua kamar kepada Hauswart Tua. Pada awalnya dia tampak ragu; namun akhirnya dia memberi sepasang kamar yang di lantai dua, serta menghadap arah hutan pinus cembra.
 
****
 
Saat langit sudah gelap secara utuh, Chokrin yang sekamar dengan Dylan, mereka tidak dapat tidur karena suara deru angin yang sangat kencang dari luar jendela, sehingga menggerakkan pohon-pohon pinus cembra yang kokoh dan mengeluarkan suara-suara bising yang meresahkan. Belum lagi dengan suasana kamar yang remang, juga menambah kesan mistis yang dramatis di dalam batin mereka.
 
Di tengah-tengah keresahan tersebut, seketika terdengar suara jeritan dari arah kamar sebelah. Lalu disusul dengan suara derap keras dan ketukan pintu kamar yang rusuh.
 
"Chokrin! Dylan! Kalian masih bangun?" ujar Zafia yang terdengar histeris dari balik pintu.
 
Chokrin dan Dylan yang kaget sekaligus bingung, lantas meresponnya dan segera membuka pintu kamar. Sontak mereka mendapati Zafia dan -- paling parah -- Tiwi yang terlihat pucat ketakutan. Secara spontan, mereka berdua bergegas masuk ke dalam kamar dan menyuruh untuk segera menutup gorden jendela kamar. Chokrin dan Dylan yang merasa bingung, lalu menghujani kedua perempuan itu dengan berbagai pertanyaan.
 
Lantas Zafia bercerita bahwa mereka berdua juga mengalami masalah serupa, yaitu tidak bisa tidur akibat suara deru angin yang rusuh. Demi meredam suara itu, Tiwi berinisiatif untuk menutup gorden jendela kamar. Akan tetapi, sewaktu Tiwi hendak melakukannya, dia mendapati sesuatu yang ganjil dari dalam hutan pinus cembra yang gelap. Lalu Tiwi segera menajamkan mata dan memfokuskan ke objek yang berada di balik kegelapan hutan tersebut. Sontak Tiwi bergidik. Zafia yang menyadari tingkah laku Tiwi, segera menghampirinya dan menanyakan keadaan. Alhasil di waktu yang bersamaan, Zafia ikut mendapati keganjilan yang dilihat Tiwi.
 
Terdapat sepasang objek yang berkelap-kelip dengan intensitas cahaya yang sangat kuat. Pada awalnya Zafia mengira itu adalah lampu hias atau lampu jalan, karena berjarak cukup tinggi dari tanah. Tetapi sewaktu Zafia mempertajam penglihatannya, dia menyadari bahwa objek yang berkelap-kelip itu tampak seperti sepasang mata raksasa yang bersembunyi di balik kegelapan. Itu sangat misterius dan menakutkan, seolah mata itu memiliki kekuatan gaib yang lebih besar dan berbahaya dari kekuatan manusia. Tidak jelas apa yang tersembunyi di balik sepasang mata raksasa yang berkelap-kelip itu, tapi kehadirannya terasa mengancam dan membuat siapa saja merinding saat melihatnya.
 
Secara perlahan, eksistensi tubuh dari si pemilik sepasang mata raksasa yang berkelap-kelip itu mulai tampak. Mereka tidak paham dan tidak bisa mendeskripsikannya secara jelas, akibat kondisi pemandangan yang gelap dan samar. Walau pun begitu, mereka dapat mengidentifikasinya sebagai raksasa yang menyaru dengan pepohonan pinus cembra. Kemunculan eksistensi itu juga dibarengi dengan aura kegelapan iblis yang menimbulkan ancaman dan ketakutan dahsyat yang mengancam jiwa mereka.
 
Kengerian itu lantas pecah jadi jeritan panik, setelah tatapan Tiwi dan Zafia terasa saling bertemu dengan tatapan sepasang mata raksasa yang berkelap-kelip itu. Alhasil, secara serempak mulai bermunculan sepasang mata raksasa yang berkelap-kelip dari dalam hutan yang gelap, dengan jumlah yang sangat banyak. Setelah dari itu, Zafia dan Tiwi tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya; karena kepanikan akut telah memerintahkan tubuh mereka untuk lari ke kamar Chokrin dan Dylan.
 
Seusai mengakhiri kesaksian yang mengerikan tersebut, Dylan berusaha menenangkan kedua perempuan itu. Sedangkan Chokrin yang penasaran, dia nekat melihat keluar jendela -- mengabaikan larangan histeria dari kedua perempuan tersebut. Namun dia tidak menemukan apa-apa, selain pepohonan pinus cembra yang berdiri kokoh dengan diselimuti oleh kegelapan malam.
 
Walau pun begitu, Chokrin seketika bergidik ngeri saat menatap ke dalam hutan pinus cembra. Seolah-olah ada sesuatu yang misterius, besar, dan jahat sedang membalas tatapannya dari dalam kegelapan yang tidak terjangkau oleh mata telanjang. Walhasil, tumbuh kengerian yang tidak terucap di dalam batinnya -- sebelum akhirnya Chokrin bergegas menutup gorden jendela kamar dengan resah.
 
****
 
Singkat cerita, di tengah malam yang dingin dan suasana teror yang belum redup, seketika terdengar suara dari arah lantai bawah hotel. Suara itu tampak gemetar lemah dan sakit, sehingga membangunkan dan mengusik ketenangan mereka berempat.
 
Chokrin -- sebagai orang yang paling berani -- segera bangun, lalu memakai jaket hangat, dan bergegas keluar kamar untuk memeriksa suara tersebut. Dylan yang juga merasa penasaran, dia mengikuti Chokrin dari belakang. Sedangkan Zafia, dia awalnya ingin ikut tapi tidak tega meninggalkan Tiwi yang masih ketakutan sendirian di dalam kamar.
 
Setiba di lantai dasar hotel, mereka mendapati seorang pria paruh baya terluka parah dan hampir tidak sadarkan diri di ambang pintu utama. Dia tampak lemah; penuh luka gores yang parah; bahkan matanya penuh kekhawatiran yang sulit dideskripsikan.
 
Di waktu yang bersamaan, Hauswart Tua juga ikut menyusul keluar dari ruang pribadinya yang berada di belakang meja resepsionis, lalu terkejut saat melihat pemandangan tersebut. Lantas dia menyuruh Chokrin dan Dylan untuk membawa pria paruh baya itu ke dalam ruang pribadinya, sedangkan dia sendiri bergegas menyiapkan kamar dan air hangat. Tanpa berpikir panjang, Chokrin dan Dylan segera menjalani perintahnya.
 
Setelah membaringkan pria paruh baya itu di atas kasur, dia meracau dengan kalimat tidak sempurna dalam bahasa Jerman dengan aksen lokal yang kental, sehingga membuat mereka sulit untuk menafsirkan apa yang sedang diucapkannya. Lalu pria paruh baya itu mengarahkan tangannya dan menunjuk keluar, seolah sedang memberi tahu ada yang tertinggal di luar sana. Menyadari isyarat itu, Chokrin dan Dylan bergegas kembali ke kamar dan mengambil senter. Mereka juga menyempatkan untuk memberitahu keadaan kepada Zafia dan Tiwi, sehingga kedua perempuan itu lekas bersiap diri dan hendak turun untuk membantu.
 
****
 
Sesampainya Chokrin dan Dylan di luar hotel; kondisi udara sangat dingin menusuk, angin bertiup kencang dan suasana sangat gelap mencekam. Di tengah-tengah penelusuran itu, seketika lampu senter mereka berhasil menangkap sebuah gundukan salju yang tidak lembut di tepi hutan.
 
Chokrin dan Dylan merasa ada keganjilan pada gundukan salju tersebut, sehingga mereka berdua menatapi gundukan itu secara saksama dan penuh keraguan.  Dalam waktu singkat itulah, seketika rasa keraguan berganti jadi kejutan penuh kengerian yang tidak terbayangkan.
 
Terdapat sepasang orang -- pria dan perempuan muda -- yang tergeletak secara mengenaskan. Kondisi tubuh mereka juga dipenuhi luka, tapi lebih buruk daripada pria paruh baya tadi.
 
Lantas Chokrin dan Dylan lekas mengevakuasi kedua orang tersebut, dan memasukkannya ke dalam hotel. Zafia dan Tiwi yang baru saja turun dari lantai atas, makin terkejut melihat adegan tersebut. Alhasil Zafia segera memanggil bantuan, sedangkan Tiwi langsung menyiapkan perlengkapan p3k dan memeriksa kedua orang tersebut.
 
Berdasarkan hasil pemeriksaan Tiwi; si pria muda tampak sedang koma, sedangkan si perempuan muda sudah meninggal dengan penyebab yang masih belum pasti. Tubuh mereka berdua sangat dingin bagaikan es saat disentuh.
 
Arkian, Chokrin dan Dylan menempatkan pria yang koma di atas sofa ruang utama, sedangkan perempuan yang sudah tidak bernyawa itu ditempatkan di suatu tempat yang tertutup. Sebagai tindak lanjut, Chokrin memutuskan untuk berjaga-jaga di samping kasur -- tempat pria paruh baya yang sekarat berada -- sambil menunggu kabar dari Zafia. Sedangkan Tiwi sibuk membersihkan luka-luka pria paruh baya yang masih setengah sadar, sebelum akhirnya dia pergi untuk mengurusi si pria muda di ruang utama sambil ditemani oleh Zafia.
 
****
 
Singkat cerita, mereka berhasil mengidentifikasi ketiga orang tersebut -- berkat Hauswart Tua yang mengenalinya. Mereka adalah Lukas Mller, Jan Huber, dan Sarah Mller.
 
Lukas Mller adalah seorang pemilik toko pengrajin kayu lokal dan satu-satunya orang yang masih sadar. Jan Huber adalah seorang petugas polisi lalu lintas yang ditugaskan dari luar desa. Sedangkan Sarah Mller adalah putri Lukas Mller yang berprofesi sebagai perawat di satu-satunya rumah sakit di Pedesaan Alpenblick, yang terletak di pusat desa.
 
Berdasarkan kesaksian Hauswart Tua; Lukas dan Sarah terakhir kali terlihat pada malam tanggal 17 Februari. Sedangkan Jan terakhir kali terlihat sekitar seminggu setelah Lukas dan Sarah menghilang; itu pun dia tampak sedang berpatroli di pinggiran utara jauh desa -- di sekitar jalan di sepanjang tepi hutan pinus cembra yang berada di dataran paling tinggi di kaki Gunung Ewig.
 
Secara mengejutkan Lukas meracau hebat dalam deliriumnya; berbicara banyak; meskipun banyak kalimat yang sulit dipahami. Beberapa kalimat berusaha diterjemahkan semampunya oleh Dylan yang fasih berbahasa Jerman, dan berbunyi sebagai berikut;

"Frostgeist... Roh Es, yang bersemayam di Gunung Ewig... Glacialis Dei, Custos Noctis et Ewig Montis, Te Adoramus et Obsequimur. Hancurkan orang-orang tak beriman ini! Kau yang berjalan di atas kematian, mengawasi dari balik gunung... Kau yang mengendalikan badai. Kau... Weiser untuk Grner Knig di Schattengeheimnis... di ujung timur Pasifik. Aku... Adeptus Frigus... Sembahku! Sembah! Sembah!"
 
Kata-kata yang penuh teka-teki ini diikuti oleh keheningan yang mendalam, hingga hanya menyisakan bunyi nafas Lukas yang tidak teratur. Matanya terus membelalak ngeri; keringat bercucuran; hingga tubuh yang sesekali menggeliat.
 
Hauswart Tua yang ikut menyaksikan, mengomentari bahwa itu pertanda buruk dan mulai memperlihatkan gestur gelisah. Sedangkan tumpukan rancu Lukas kembali berlanjut, dan lebih membingungkan dari sebelumnya.
 
"Spiritum Glaciae... es terkutuk! Gloria Frostgeist, dominus gelu et custos tenebrarum, accipimus potestatem tuam et damus tibi laudes. Tua est potentia et magnitudo. Penjaga gunung... Penguasa es... Penakluk badai... Pengorbanan, pengorbanan harus, ya, harus dilakukan! Yang terpilih, Sarah... putriku... putri satu-satuku! Tidak! Aku tidak bisa! Sinar! Malam yang bersinar... penuh bintang di dalam hutan dan gunung! Sudah terlambat! Murka! Murka Frostgeist!"
 
Hauswart Tua tampak gugup melihat situasi ini, sehingga secara perlahan-lahan dia mulai mencairkan wataknya, lalu memulai cerita akan latar belakang Pedesaan Alpenblick. Akan tetapi, Hauswart Tua tidak fasih berbahasa Inggris -- hanya bisa berbahasa Jerman dengan aksen lokal untuk berkomunikasi. Alhasil Chokrin hanya bisa mengandalkan Dylan sebagai penerjemah handal.
 
Berdasarkan hasil terjemah penjelasan Hauswart Tua; dibalik semua keindahan yang tersajikan secara kasat mata akan Pedesaan Alpenblick beserta Gunung Ewig, terdapat sebuah misteri tak terucap dan mitos-mitos mengerikan yang sulit terverifikasi. Ada sebuah cerita rakyat mengerikan tentang legenda koloni raksasa yang sangat berbahaya dan bersemayam di balik Gunung Ewig. Penduduk dari Pedesaan Alpenblick sangat takut dan enggan untuk menginjakkan kaki di sana. Karena jika itu terjadi, maka raksasa tersebut akan muncul dan mengancam keselamatan mereka.
 
Sayangnya, tidak ada orang yang dapat menggambarkan sosok raksasa tersebut. Sebab belum ada orang yang selamat setelah berhadapan langsung dengannya. Mereka semua menghilang atau -- paling beruntung -- ditemukan mati dalam kondisi mengerikan. Walhasil warga setempat membuat larangan verbal untuk memasuki kawasan Gunung Ewig, untuk alasan apa pun.
 
Warga Pedesaan Alpenblick sering menyebut raksasa itu sebagai Frostgeist, atau dalam kata lain "Roh Es". Frostgeist adalah penjaga Gunung Ewig yang tidak terlihat, kecuali oleh mereka yang berani menjelajah ke dalam hutan atau sisi terdalam di Gunung Ewig yang dingin dan sunyi. Dikatakan bahwa raksasa ini adalah perwujudan dari kekuatan alam yang luar biasa dan kegelapan kosmik yang tidak terpahami.
 
Frostgeist tidak hanya makhluk misterius atau mitologi lokal, tapi juga ancaman nyata bagi kehidupan manusia. Dia tidak berpihak kepada siapa pun, dan kehadirannya dianggap sebagai bencana. Frostgeist memangsa dengan ganas, mengambil nyawa setiap orang yang ditemuinya, terutama bagi mereka yang berani menjelajah lebih dalam hingga memasuki wilayahnya.
 
Menurut legenda lokal, Frostgeist adalah gabungan roh Gunung Alpen yang perkasa dan semangat es yang membeku. Dia hidup dalam keseimbangan antara dunia fiksi dan dunia spiritual, sehingga menjadikannya sebagai makhluk yang sulit dipahami oleh manusia biasa. Dia memiliki kemampuan untuk memanipulasi suhu, membekukan darah dengan sentuhan dinginnya, dan merasuki pikiran manusia dengan ketakutan dan kegelisahan. Manusia yang termanipulasi akan cenderung berubah, kehilangan kemanusiaannya, hingga akhirnya mereka benar-benar berubah seutuhnya menjadi Frostgeist.
 
Dylan sangat tertarik dengan penjelasan mitologi mengerikan itu, bahkan dia tampak tidak asing dengan hal tersebut. Dylan juga penasaran dengan istilah "Weiser", "Grner Knig", dan "Schattengeheimnis", sehingga dia berusaha mencari tahu dengan menelusuri internet dan buku-buku tebal yang ada di dalam tasnya.
 
Di waktu yang bersamaan, Tiwi datang untuk memberi tahu bahwa dia telah mengerjakan semampunya untuk mengobati luka Jan. Tetapi kondisi Jan makin kritis akibat infeksi pada luka-lukanya. Tiwi juga menjelaskan bahwa dia tidak dapat mengobati luka Jan dengan perlengkapan seadanya -- karena luka tersebut sangat dalam dan fatal, sehingga memerlukan peralatan medis yang lebih profesional.
 
Sedangkan Zafia menjelaskan bahwa dia telah menghubungi rumah sakit di Pedesaan Alpenblick, tapi tidak direspon. Maka dari itu, Zafia mencoba menghubungi rumah sakit lain dari desa tetangga, dan beruntung mendapat respon. Lantas pihak rumah sakit itu segera mengirimkan dua ambulans serta menghubungi pihak kepolisian. Namun karena jarak dan kondisi medan jalan, jadi butuh waktu sekitar 30 hingga 45 menit untuk tiba di Pedesaan Alpenblick; lebih tepatnya, di hotel mereka berada.
 

Bersambung ke Part 2.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun