Mohon tunggu...
Elmi Safridati
Elmi Safridati Mohon Tunggu... Guru

Menulis adalah hobi yang tak bisa dipungkiri. Semoga apa yang tertulis bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kisah Sedih Seorang Anak yang Bekerja Sebagai Tukang Parkir

25 Agustus 2025   09:48 Diperbarui: 25 Agustus 2025   12:03 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku tinggal di mushollah di belakang sana Bu, aku non muslim lho Bu," katanya. 

"Lah kalau kamu non muslim kenapa tinggal di mushollah, apa di sana ada kamarnya? Saya merasa nyaman aja Bu, soalnya saya di sana juga sama sahabat saya. Dia seorang pengamen. Kami bukan tidur di dalam tapi kami tidur di emperan mushollah itu."

Ya Allah teriris lagi hatiku. "Apa kamu bilang, kamu tinggal di emperan? Apa kamu nggak kedinginan?."

"Nggak Bu, aku punya selimut. Aku ada kain sarung," katanya kepadaku. Lama aku terdiam sambil menelan air mataku. Namun dalam kerapuhanku aku tak ingin dia ikut rapuh. Seolah aku orang yang sangat kuat lalu kucoba menguatkan anak itu. 

"Nak, kamu laki-laki, kamu harus kuat. Tidak ada orang sukses di dunia ini yang berasal dari orang kaya, walau ada namun sedikit sekali. Rasa sakit yang Tuhan berikan kepada kita adalah sebuah ujian untuk menuju masa depan yang baik. Karena itu sayangi dirimu, jangan kamu berharap ibumu yang akan menyayangimu, atau ayahmu yang akan menyayangimu, bahkan orang lain yang akan menyayangimu. Semua itu mustahil, walau mungkin ada namun jangan terlalu berharap."

"Sayangi dirimu, jaga kesehatanmu, jangan lagi kamu tahankan tidak makan. Nanti kalau kamu sakit siapa yang akan memgurusmu. Di sini kamu tidak punya saudara dekat, adapun pamanmu, itupun saudara jauh. Dia bawa kamu ke sini namun dia biarkan kamu tidur di emperan. Itu namanya bukan saudara." 

"Ke depannya, kalau kamu lapar datanglah ke warung ibu ini ya, kalau uangmu tidak ada makan aja dulu, nanti kalau uangmu sudah ada baru kamu bayar, kataku panjang lebar kepadanya. 

"Iya Bu, makasih banyak Bu. Itu temanku sudah datang jemput aku, aku permisi ya Bu kami istirahat pulang dulu," katanya padaku. 

Sahabat, walau dia bukan anakku, dia juga bukan saudaraku, tapi melihatnya seperti ini hatiku sangat iba. Air mataku tak bisa aku sembunyikan. Setelah dia pergi aku menangis di kedai misoku. 

Aku terbayang beginilah akibat dari perceraian orang tua itu. Inilah salah satu imbasnya kepada anak-anak kita. Aku sampai membayangkan bagaimana nasib anak-anakku kalau hal ini terjadi padaku. Mungkin saja akan sama seperti anak ini. 

Ini adalah sebuah pelajaran bagi kita semua, bahwa jika terjadi perpisahan pada kedua orang tua yang paling menderita itu adalah anak-anaknya. Apalagi kalau hidup kedua orang tua yang berpisah itu jauh dari kata cukup. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun