Mohon tunggu...
Hani Elmahida
Hani Elmahida Mohon Tunggu... Writer

Education, psychology, and writing enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Paradoks RUU TNI: Efektifitas atau Oligarki?

22 Maret 2025   06:40 Diperbarui: 22 Maret 2025   06:42 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Aksi massa Jakarta

Kamis, 20 Maret 2025 DPR-RI mensahkan lebih dahulu RUU TNI sebelum publikasi draf naskah final bisa diakses. Pengesahan singkat nan problematik ini banyak mengundang respon masyarakat sipil yang mengidentifikasi adanya indikasi orde baru jilid dua. Pasalnya, melalui RUU TNI pemerintah memberikan perluasan posisi terhadap militer sehingga membawa memori masyarakat pada dwifungsi ABRI masa mantan presiden Soeharto. Urgensi dari RUU TNI dengan memasukkan militan dalam urusan adminisratif sipil ini sangat tidak ideal. Asas demokrasi supremasi sipil kontradiktif dengan cara kerja “komando” serta atribut senjata lengkap dari prajurit TNI.

Contohnya saja untuk mengatasi kasus narkoba, pecandu setidaknya perlu adanya rehabilitasi fisik dan mental, bukan malah kemudian diamankan dengan kekerasan dan dalih defensif dari aparat. Lalu, mega proyek di timur Indonesia, masyarakat yang tanah dan sumber dayanya dirampas, harus tunduk terhadap rezim. Mereka mungkin akan dibungkam bukan hanya perihal keterbatasan akses air bersih bebas pencemaran, namun juga keterbatasan suara. Terlihat pula, pada aktivis demonstrasi yang dijegal aparat bersenjata. Probabililtas masalah yang timbul tidak cukup masuk akal jika dibandingkan dengan waktu pengesahan RUU tersebut.

RUU TNI bertentangan dengan upaya perjuangan reformasi 1998 silam. TNI adalah tetap bagian dari pertahanan politik negara, tetapi dwi fungsi jabatan mencoreng demokrasi. Senjata tidak seharusnya dibawa dalam ranah pelayanan sipil. Sifat defensif militer sejalan dengan persona konvensional komando anti-diskusi. Mentalitas ini adalah bentukan pelatihan di barak, maka seyogyanya hanya dapat diaplikasikan di tempat semula.

Isu motif perpanjangan masa pensiun pun sempat mencuat ke permukaan. Fungsionalitas militer dalam pertahanan negara mulai dipertanyakan atas beberapa anggotanya yang diduga tanpa job. Jika kepentingan individu atau kelompok tertentu melebur menjadi urgensi dari kebijakan sistem pemerintahan, oligarki pun semakin didepan. Rezim telah secara terang-terangan tuli terhadap aspirasi masyarakat. Dan lagi, suara rakyat hanya didengar saat pemilu. Akankah kebebasan berpendapat juga dibatasi di negeri yang “katanya” menjunjung tinggi demokrasi ini?

Masyarakat boleh jadi merasa pola berulang, mulai dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang hanya mengenyangkan perut padahal beberapa isinya ultra processed food, lalu efisiensi anggaran yang sangat memangkas pendanaan bidang pendidikan dan kesehatan, dimana keduanya adalah aspek esensial kehidupan. Anjloknya kurva Indeks Harga Saham Gabungan (ISHG). Belum lagi proyek investasi Danantara yang mengundang banyak skeptisisme masyarakat, akankah surplus atau malah defisit?. Juga korupsi yang sudah menjadi cagar budaya negara. Lalu hari ini, angin orde baru kembali berhembus, mematikan hak dasar supremasi sipil hingga kebebasan berekspresi. Perlahan tapi pasti, sektor-sektor kehidupan mulai di bawahi kontrol pemerintah dengan kepentingan golongan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun