Mohon tunggu...
Elly Suryani
Elly Suryani Mohon Tunggu... Human Resources - Dulu Pekerja Kantoran, sekarang manusia bebas yang terus berkaya

Membaca, menulis hasil merenung sambil ngopi itu makjleb, apalagi sambil menikmati sunrise dan sunset

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apa Iya Sastra Indonesia Melow Melulu dan "Itu-Itu Saja" ?

29 Februari 2020   22:23 Diperbarui: 29 Februari 2020   22:51 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : wallpaper safari

Jika hujan membuat hatimu bergolak, gigilkan jiwa dan rasa lalu tercipta puisimu tentang hujan dan rasamu, sah-sah saja itu. 

Jika secangkir kopimu tak lagi bangkitkan asa, rasanya hambar dan membuatmu teringat banjir ibukota, orang-orang bermain tiktok untuk menghibur diri lalu kau buat  cerita fiksi mini, ah sah pula ini. 

Jika senja yang indah tak membuat orang-orang menepi sejenak dan membuat kau jengah sebab orang-orang bergegas pulang, jalanan riuh dan hiruk pikuk dengan suara klakson lalu kau buat kisah tentang senja yang tak ramah, itupun tak salah.

Sebuah Fiksi yang setelahnya dinilai orang sebagai karya sastra atau bukan, bagi saya adalah soal rasa. Rasa apa saja. Sebagian orang membuat fiksi diliputi rasa yang berkecamuk di jiwanya, cintanya, rindunya pada kekasih yang sedikit saja melihat hujan, secangkir kopi atau senja dia bisa tersulut. 

Sebagian lagi soal rasa pada realitas sosial di masyarakat, lingkungan yang dilihatnya. Kita tau Sajak Sebatang Lisong WS Rendra yang adalah rasa pemberontakan jiwa atas ketidak adilan di masyarakat ketika itu. 

Seno Gumira Adjidarma mengatakan Sastra itu adalah karya yang bebas dan liar. Terkadang menjadi alat kritik kepada pihak tertentu, pemerintah atau siapapun. Masih menurut Seno, kalau karya sastra isinya cuma curhatan dan bahasanya mendayu-dayu, itu cuma mitos katanya. Sastra itu berisikan pemikiran yang membongkar.

Saya sepakat dengan pemikiran itu. Semua realitas di depan mata yang mengendap di jiwa pada hakekatnya kita bongkar di pemikiran kita. Hal yang membedakan, seniman, sastrawan mengolahnya menjadi karya. Karya yang bisa saja sukses dan disebut karya sastra. Sebagian orang lain, bongkaran itu menguap dan menghilang tanpa sempat dituangkan dalam tulisan. Sebagian lagi, ya mungkin ditulis di blog pribadi menjadi tulisan curcol. 

Tetapi rasanya saya berlebihan jika ikut mengatakan bahwa Sastra Indonesia "Itu-itu saja" karena dipenuhi  oleh hujan, secangkir kopi, rindu dan senja. Masa sih...? Coba dilihat-lihat lagi dengan jeli. Rasanya karya sastra tentang rasa mealow itu tak pula banyak. Saya tau "Hujan Bulan Juni" Sapardi Djoko Damono meski puisi ini juga tak otomatis dimaknai harfiah sebagai rasa tentang cinta. Ada pula beberapa puisi cinta Khairil Anwar dan WS.Rendra. Selebihnya, saya kira justru banyak karya sastra yang berisikan pemberontakan dan pembongkaran realitas sosial di masyarakat.  

Lihatlah karya sastra Iwan Simatupang, WS Rendra, Khairil Anwar, Satyagraha Hoerip, Pramoedya Ananta Toer, Budi Darma, Seno Gumira Adjidarma, dsb. Entah kalau yang dilihat memang hanya sastra tentang hujan, secangkir kopi dan senja saja, hehe.

Nah kalau yang dimaksud karya fiksi sekarang banyak tentang hujan, secangkir kopi dan senja, mungkin iya. Lihatlah di wattpad, Twitter, blog-blog pribadi dan kanal-kanal online lain. 

Sastra itu berawal dari rasa. Rasa yang mengendap di jiwa. Soal apa saja, hujan, secangkir kopi, senja, cinta dan semua hal ya sah-sah saja. Jadi saya membuka diri saya selebar-lebarnya akan rasa saya dan rasa orang lain pada fiksinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun