Mohon tunggu...
Ella Zulaeha
Ella Zulaeha Mohon Tunggu... Self Employed -

Jadikan sabar dan sholat senagai penolongmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jadi Santri Itu Keren, Nak!

2 Juli 2016   11:44 Diperbarui: 2 Juli 2016   11:54 907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mendengar kata "santri" tentu kita langsung teringat pada Pondok Pesantren. Ya, santri dan Pondok Pesantren merupakan satu kesatuan yang tak mungkin terpisahkan. 

Namun tidak semua orang tua menganggap Pondok Pesantren sebagai tempat yang tepat untuk mendidik anak mereka. Berbagai alasan yang sering kita dengar antara lain : 

-Orangtua tak bisa jauh dari anak. 

-Tidak tega jika anak berada di pesantren. 

-Takut dibilang membuang anak.

-Dianggap tidak sayang pada anak.


-Anaknya yang tidak mau jadi santri. 

-Anaknya tidak betah menetap di Pondok. 

-Biaya mondok yang cukup besar.

Memang benar, kita sebagai orangtua tidak boleh memaksakan kehendak terhadap anak. Anak kita mungkin memiliki pilihan sekolah yg mereka kehendaki. Jika anaknya kekeuh tidak mau, janganlah dipaksakan karena sesuatu yang dipaksakan tidak berakhir dengan baik.

Dalam hal pendidikan anak, saya memiliki pandangan sendiri dalam membimbing kedua putra saya. Alhamdulillah, Putra pertama saya, Danish (13 tahun)  sudah diterima di PonPes di Desa Gintung, Jayanti, Tangerang. Awalnya memang Danish  keberatan ketika saya dan suami menghendaki dia untuk melanjutkan SMP di PonPes. Mengingat usia Danish yang tengah seru-serunya mengenal dunia digital, ia pun tak bisa lepas dari Gadget dan Laptop. Untuk itu kami merasa perlu mengarahkannya lebih jauh lagi karena tak ingin Danish terlalu menikmati dunianya itu.

Belum lagi pergaulan jaman sekarang yang sungguh memprihatinkan. Tawuran, rokok, narkoba, warnet dan pergaulan bebas, sungguh membuat ngeri orangtua manapun termasuk saya. Saya tak ingin Danish salah bergaul, karena tidak mungkin saya bisa mengawal anak 24 jam apalagi saat anak berada di luar rumah. 

Bicara soal kemandirian, Danish termasuk anak yang tingkat kemandiriannya sangat kurang. Ia sangat bergantung pada orangtuanya. Mulai dari bangun tidur, sholat 5 waktu, mandi, makan, berangkat sekolah, semua dalam pengawalan orang tua. Belum pernah ia lakukan sendiri atas kesadaran sendiri. Semua dilakukan atas perintah orangtuanya.

Itulah alasan kami bertekad memasukan Danish ke PonPes. Namun tidak sekonyong-konyong kami memaksa dia untuk mengikuti kehendak kami. Bersyukurnya Sekolah Danish SDIT sangat menunjang untuk masuk ke PonPes. Sebagai syarat kelulusan SD, siswa wajib khatam dan hafal 30 surat Juzz Amma. Setidaknya Danish memiliki bekal untuk menjadi santri.  

Sejak kelas 5 SD, Danish sudah dikenalkan dengan dunia PonPes. Ada 8 PonPes yang sudah kami kunjungi. Saat berkunjung ke tempat-tempat itu kami sempat berinteraksi dengan para santri disana. Kami bertanya apa alasan mereka mau menjadi santri, mengapa mereka memilih PonPes tersebut, mengapa mereka betah tinggal di PonPes, apa tujuan mereka setelah keluar dari PonPes. Dari situlah secara tak langsung kami berusaha menanamkan keyakinan pada Danish bahwa banyak anak seusianya yang dengan kerelaan hati menjadi santri tanpa paksaan orang tua. 

Saya bilang pada Danish, "tuh lihat, jadi Santri itu keren kan? Wajah para santrinya ceria dan berseri-seri karena tak lepas dari ibadah dan ketaatan. Santrinya juga mampu mandiri dan tidak manja. Dunia akhirat bisa didapat. Karena anak yang soleh itu investasi akhirat untuk orangtuanya". Secara akademis pun tak kalah hebat dengan siswa dari sekolah Negeri ataupun swasta. Prestasi berjejer bisa dilihat dari banyaknya piala yang terpajang di sana. 

Kenapa jadi santri saya bilang keren ? karena  kenyataannya, begitu banyak pesantren di negeri ini yang melahirkan cendekiawan, ilmuwan, ulama dan bahkan pimpinan negara. Semua membuktikan bahwa pesantren bukanlah lembaga pendidikan kelas dua. Sebaliknya, justru pesantren adalah lembaga pendidikan kelas satu yang sudah terbukti baik dan dapat menjawab tantangan zaman. Di tempat inilah anak bisa mendapatkan ilmu dan peradaban.

Demi meyakinkan Danish lagi, saya sengaja memperlihatkan Film "Negeri 5 Menara". Kisah Alif di Film itu sungguh menjadi inspirasi saya sebagai orang tua, dan bagi Danish kisah Alif itu ibarat udara segar baginya untuk berani dan tangguh seperti Alif. Semoga ya nak!

Alhamdulillah, Danish kini tak lagi galau dan khawatir.  Ketakutannya selama inipun sirna. InsyaAllah secara mental ia sudah siap menjadi santri. Tak hentinya kami memberi semangat padanya bahwa ia bisa dan mampu mandiri menjadi santri. Berada jauh dari orangtua akan membuatnya lebih dewasa dan matang dalam bersikap. Rasa sayang orangtua terhadapnya sedikitpun takkan berkurang. 

Dari berbagai PonPes yg kami datangi itu, akhirnya Danish memilih PonPes di Jayanti Serang. Oke, setidaknya kami bisa memberikan pilihan dan komitmen. Dari situ Danish mulai belajar bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Karena kami tak ingin suatu saat nanti dia menyesali karena terpaksa mengikuti kemauan orangtuanya. 

Test masuk PonPes itu juga tidak mudah. Karena Danish sempat gagal masuk di PonPes di wilayah Sukabumi. Padahal dia sudah belajar hingga larut malam. Bersyukur test di PonPes kali ini ia berhasil lulus. Ternyata peminatnya sungguh banyak. Ratusan anak calon santri dari berbagai propinsi datang. Subhanallah... Sungguh terharu melihatnya. Tak menyangka begitu banyak orangtua yang sayang dan peduli pada pendidikan anak. 

Namun tidak semua calon santri yang bisa dengan mudah lulus. Materi akademis yg diujikan lumayan berat. Yg pasti ada tes membaca Al-Quran dan praktik sholat. Ada berbagai cerita dari anak yang tidak lulus itu, ada alasan orang tua memasukan anak ke PonPes agar anaknya bisa belajar mengaji. Padahal di PonPes itu sifatnya mengembangkan pendidikan yg sudah didapat saat SD. Belajar mengaji seharusnya sudah didapatkan saat anak duduk di bangku SD. Ada juga yang terpaksa mengikuti kemauan orang tua. Hal tersebut diketahui saat sesi wawancara dengan ustadz disana. Sekali lagi, jangan pernah memaksakan kehendak kita kepada anak.

Tanpa bermaksud menggurui, sebagai orang tua mari kita sama-sama belajar. Belajar mengenal karakter anak, belajar memahami kemauan anak, belajar membimbing dan mengarahkan anak, belajar untuk tidak serta merta mengikuti kemauan anak tanpa alasan yg tepat. Alangkah baiknya jika kita pun belajar untuk menjadi panutan bagi anak.

Kita tidak mungkin memaksa anak menjadi lebih baik atau lebih soleh sedang kita sendiri masih belum bisa menjadi contoh. Anak disuruh rajin sholat, namun orang tuanya sendiri tidak pernah sholat. Anak disuruh berbuat baik namun orangtuanya sendiri sering berbuat maksiat. Anak disuruh belajar Al-Quran sedangkan orangtuanya sendiri tak bisa membaca Al-Quran.

Jika di tangan orang tua sendiri anak tak mampu patuh dan menaati, alangkah baiknya jika diserahkan kepada orang dan tempat yang tepat, yaitu kepada para ustadz di Pondok Pesantren. Jika tujuan hidup kita semata-mata karena Allah, InsyaAllah anak-anak kita akan selalu dalam lindunganNYA sekalipun mereka jauh dari orang tua. Jika benar kita sayang kepada anak, lindungi mereka dari pergaulan yang salah, karena anak itu belajar dari kehidupannya. 

Sekedar sharing untuk para ayahbunda. Ada beberapa hal yang harus kita perhatikan jika ingin anak kita menjadi seorang Santri : 

1. Bicara dari hati ke hati dengan anak, bagaimana keinginan kita sebagai orangtua terhadap masa depan mereka.

2. Dengarkan pendapat anak, apa alasan mereka menolak untuk sekolah di PonPes. Jika alasan anak menolak karena ingin bebas jika berada di rumah, sebaiknya kita luruskan agar anak tidak kebablasan bergaul.

3. Beri masukan dan pandangan kepada anak bahwa hidup di lingkungan pesantren itu menyenangkan, banyak hal yang bisa dipelajari. Yang pasti soal kemandirian sudah teruji. Banyak prestasi lain yang bisa diraih.

4. Kenali anak dengan dunia Pondok Pesantren. Di sini mereka bisa melihat secara langsung bagaimana pergaulan para santri agar mereka tidak kaget lagi saat nanti mondok.

5. Bekali anak dengan pendidikan Al-Quran. Jika belum lancar membaca Al-Quran, kita bisa mendatangkan guru private. Mereka akan belajar tajwid dan cara membaca Al-Quran dengan benar. 

6. Jangan memaksa anak untuk mengikuti kehendak orang tua jika mereka tetap bersikukuh menolak. Alangkah baiknya jika keinginan menjadi santri atas kesadaran anak sendiri tanpa tekanan orang tua.

7. Sebelum mendikte anak, sebaiknya kita perbaiki dulu bagaimana perilaku kita sebagai orangtua. Ingin anak kita baik, orang tua yang harus lebih dulu memperbaiki diri. 

Semoga ada hikmah yang bisa diambil dari sharing saya yg panjang ini dan kita bisa  menjadi teladan bagi anak-anak kita. 

Tulisan ini teruntuk Danish anakku... Semangat ya, Nak! Jadi santri itu keren khan! 

Doa mama selalu menyertai Danish, dimanapun Danish berada. Rasa sayang mama takkan sedikitpun berkurang. Dengan doa, itulah cara mama memelukmu dari jauh. Semoga Danish selalu sehat dan mampu menjadi pribadi yang tangguh dan membanggakan. Jelanglah duniamu yang baru. InsyaAllah 21 Juli nanti hari pertamamu menjadi seorang santri. Jadilah pribadi muslim yang berprestasi. Mama bangga terhadap Danish.

Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun