Mohon tunggu...
Elje Story
Elje Story Mohon Tunggu... Penjaga Toko

Penjaga Toko yang suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Beranda Merah Muda

28 April 2025   07:00 Diperbarui: 27 April 2025   20:48 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Canva/ Elje Story)

Aku kembali ke kota ini. Bukan untuk berlibur. Bukan pula untuk mengulang masa lalu. Aku datang hanya untuk satu alasan; mencari keberadaanmu, Disma.

Sore itu, langkahku menyusuri jalan-jalan kecil yang pernah kita lewati bersama. Di setiap sudut, aku merasa seolah mengenal mereka semua; bau tanah basah setelah hujan, deretan toko tua dengan cat yang mulai mengelupas, dan suara angin yang berbisik di sela-sela dedaunan. Aku datang berbekal kenangan, satu-satunya kekuatan yang kupunya setelah sekian lama menjauh. Dan juga ada buket bunga yang diwarkan bocah di depan stasiun.

Aku sudah mencoba menghubungimu selepas kebebasanku tahun lalu. Namun semua sosial mediamu terakhir aktif sudah tujuh tahun yang lalu. Lalu teman-temanmu satu persatu kukirim pesan tapi tak ada jawaban. Seolah dunia ini telah menghapus jejakmu atau mereka takut berhubungan denganku mantan kriminal ini? Sudahlah, aku tak ambil pusing dengan semua itu.

Natal hampir tiba. Kota ini bersolek dalam warna-warna cerah, seperti mengundang siapa saja untuk pulang. Aku masih ingat betul bagaimana dulu kamu menyuruhku bertandang di hari Natal. "Mamaku masak opor kesukaanmu," Katamu, sambil tertawa kecil. Dan aku, dengan langkah penuh harap, pernah menuruti ajakanmu. Bukan rumah yang besar namun penuh dengan kebahagian di sana.

Kini, aku menelusuri jalan yang sama. Tapi rumah itu telah tiada. Yang kutemukan hanyalah hamparan puing dan batu bata berwarna merah muda. Juga bekas fondasi rumahmu berdiri dalam diam, membiarkan bunga-bunga liar tumbuh tanpa batas. Aku duduk di sana, di atas sisa beranda yang pernah menjadi tempat kita berbagi cerita dan tawa.

Aku tidak tahu harus berkata apa. Angin sore membawa debu dan serpihan kenangan. Aku menatap kosong ke depan, mencoba menemukanmu dalam angin, dalam riuh kota yang mulai padam. Tapi yang kudapatkan hanyalah keheningan, bangunan yang tinggal puing dan mataku yang perih menahan tangis.

"Pak Permisi, keluarga yang tinggal dirumah ini di mana ya?" Tanyaku kepada tetanggamu.

"Wah, kurang tahu Kang, saya sudah lima tahun di sini dan sudah seperti itu keadaanya. Coba tanya ke Pak Rt Kang, ada di sebelah Mushola itu?" Tunjuk orang itu ke arah utara.

"Baik terima kasih Pak." Jawabku pungkas dan segera ke arah yang ditunjuk.

"Ironis", pikirku.
Aku datang mencari kehangatanmu, malah yang menyambut kepergianmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun