TEMPAT INI SUDAH BERUBAH, menggeliat jadi kota kecil, beda kondisinya saat Ajis tinggalkan empat tahun lalu. Jalanan mulai mulus, pasar tradisional yang dulu kumuh tempat Ajis dan ayahnya kerap makan soto di warung Bek Prapti, berganti mall megah.
Ada patung besar dibangun dekat terminal, entah patung siapa. Wajahnya tak ada kemiripan dengan pahlawan-pahlawan yang pernah dikisahkan Pak Suraji guru sejarah, depan kelas.
Ada yang aneh, tatapan mata patung itu seakan mengikuti Ajis ke mana melangkah. Waktu zuhur tadi Ajis berpapasan dengan seorang, pria gemuk pendek, belum terlalu tua, berjalan pincang keluar mushalla.
Mereka sempat bertatapan mata, Ajis menyapanya dengan sebuah anggukan kecil. Keluar dari tempat wudu, dilihatnya lelaki berkaos oblong putih itu masih belum beranjak pergi. Masih duduk di atas motornya, seakan ada yang ditunggu.
Begitu terlihat Ajis, buru-buru ia mengengkol dan berlalu sambil menutup wajah dengan topi butut yang dia pakai. Â
***
Di pondok dini hari tadi, suhu dingin menusuk sumsum. Usai tahajud, Ajis berkemas hendak bergabung ngaji kitab Kifayatul Akhyar di Pendopo. Suara puji-pujian sudah terdengar pertanda kajian akan segera dimulai. Seseorang membisikinya. Â Â
"Dik Ajis ditimbali Abah."Â
Bak tersengat listrik tegangan tinggi, Ajis terperanjat.
"Dipanggil Abah sepagi ini? Ahh...kena takzir1) ini. Apa salahku?"Â
Barokah bagi santri bisa sowan atau ditimbali2) Abah karena jarang terjadi. Paling banter kalau ada urusan biasanya dengan senior atau dipanggil Guse3).