Mohon tunggu...
Elias Sumardi Dabur
Elias Sumardi Dabur Mohon Tunggu... Wiraswasta - Profile Singkat

Konsultan hukum dan advokat. Founder Akuity Law Firm. Owner dan host kanal youtube.com/EliasDaburNote. Memperoleh pendidikan Bahasa Perancis dari UGM, dan Ilmu Hukum dari Univ. Suryadharma, Jakarta. Punya minat besar dlm menulis perihal politik, kisah inspiratif, pengembangan kepemimpinan, dan spiritual. Lama berkecimpung dlm organisasi kemahasiswaan intra dan ekstra kampus (Sekjen PP PMKRI 2005-2006). Pernah bekerja sbg Tenaga Ahli salah satu Anggota DPR dan Legal Officer PT. Griya Apsari Persada. Selain itu, sempat merintis usaha penulisan/penerbitan buku-buku: pengembangan diri, Kisah inspiratif/motivasional dan hubungan ketuhanan. Buku pertama yang diterbitkan atas nama sendiri; BE A LEADER. Investasikan Kepemimpinan Anda! Seiring perjalanan hidup, saya memberi nama atau julukan baru bagi diri saya; " SANG PEMBELA" untuk menunjukan diri sebagai pejuang keadilan dan kebebasan. Keterlibatan saya dalam gerakan politik, minat saya dalam mendorong, memotivasi semata-mata expresi kelimpahan cinta. Karena Saya tumbuh dan besar sebagai pribadi yang kelimpahan cinta.

Selanjutnya

Tutup

Money

Pembangunan Infrastruktur dan Aspek Keadilan Sosial

24 Desember 2017   02:18 Diperbarui: 24 Desember 2017   07:40 1367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Memasuki tahun ketiga pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, selain apresiasi yang diberikan, namun ada juga kritikan keras dari politisi-politisi partai dan ekonom terutama pada bidang pembangunan infrastruktur. Kritikan-kritikan tersebut secara ringkas sebagai berikut: kebijakan fiskal pemerintah sudah terlalu eksesif dalam pembangunan infrastruktur. Bahkan, ada pendapat yang memandang kebijakan ekspansif tersebut akan berujung pada krisis, sehingga pemerintah perlu mengubah orientasi kebijakan, dan menghentikan pembangunan infrastruktur. Kritik lainnya soal pembangunan infrastruktur tidak berkorelasi dengan kesejahteraan rakyat dan tak serta merta mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

     Kritikan-kritikan tersebut selain perlu didengar, tetapi juga penting ditanyakan, benarkah demikian? Apakah pembangunan  infrastruktur hanya dilihat dari dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi? Apakah faktor kebahagiaan masyarakat yang tinggal di Kawasan Timur Indonesia, kawasan perbatasan, pulau kecil terluar dan terdepan, serta daerah tertinggal yang baru merasakan dipangku oleh ibu pertiwi dengan hadirnya pembangunan infrastruktur; tidak diperhitungkan?

Ketimpangan Pembangunan Itu Riil

     Sebagai orang yang tidak memahami ekonomi dengan baik, penulis merasa perlu menanggapi suara-suara tersebut dengan sebuah cerita. Tahun 1995, penulis masuk pertamakali ke Pulau Jawa melalui Pelabuhan Banyuwangi, setelah melewati dua hari, tiga malam di atas Kapal Dobonsolo dari Pelabuhan Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT.Tujuan utama saya adalah kota Jogjakarta.Sepanjang perjalanan dari Banyuwangi sampai Jogjakarta, pikiran dan perasaan berkecamuk karena kaget dan geram. Melihat secara nyata betapa jomplang, tajamnya ketimpangan pembangunan yang ada, saya bergumam dalam batin, pantasan orang-orang di Jawa ini berbusa-busa, sangat bergelora kalau bicara tentang semangat kebangsaan, nasionalisme.

     Kegeraman ini terus tersimpan dalam memori; sehingga suatu kesempatan, tepatnya tahun 2002 di sekretariat PMKRI Jogja, ketika diwawancarai oleh seorang peneliti dari Australia yang menanyakan pandangan saya tentang nasionalisme; Secara retoris, saya menjawab, "Untuk apa kita bicara nasionalisme; kalau keadilan sosial atau kesejahteraan umum tidak terwujud?

     Jawaban tersebut dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa secara ideologi, keadilan sosial merupakan salah satu fondasi dan tujuan negara kita. Konstitusi Negara RI dalam Pembukaan UUD 1945 pun secara tegas merumuskan tujuan bernegara :"membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial".

     Kesejahteraan umum atau keadilan sosial itulah yang menjadi tolok ukur atau kriteria mendasar kalau kita bicara tentang Negara, tentang Republik Indonesia.  Kalau sebuah negara bergerak menjauh dari raison d'etrenya, itu bukan lagi negara; tapi kawanan perampok; seperti dikatakan Agustinus dari Hippo dalam de Civita Dei,"Remota Itaque iustitia quid sunt regna nisi magna latrocinia (Negara yang tidak menyelenggarakan pemerintahannya secara adil, tidak lebih dari sekawanan perampok/pencuri bagi rakyatnya).

     Cerita singkat dan pertimbangan moral kekuasaan di atas ingin menegaskan bahwa ketimpangan atau kesenjangan pembangunan antarwilayah itu riil. Selama ini hampir semua elit politik, pengamat ekonomi, politik, sosial, budaya menyuarakan nada yang sama bahwa permasalahan yang menjadi tantangan besar berbangsa-bernegara kita ialah soal ketimpangan, kesenjangan pembangunan. 

Bahkan, sampai dengan tahun 2017 pusat-pusat kegiatan ekonomi nasional masih terpusat di Kawasan Barat Indonesia (KBI) meliputi: Sumatra, Jawa, dan Bali, dengan sumbangan sekitar 80 persen dari PDB. Pembangunan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) masih tertinggal. Kesenjangan juga masih terjadi antara daerah perkotaan dengan daerah perdesaan, daerah tertinggal, kawasan perbatasan, pulau kecil terluar dan terdepan, serta kawasan transmigrasi.

 Kita semua tahu, hambatan utama yang dihadapi oleh daerah tertinggal, terdepan dan terluar adalah terbatasnya pelayanan dasar, kurang memadainya prasarana dan sarana; kurang berkembangnya kegiatan ekonomi produktif; rendahnya akses transportasi, telekomunikasi dan informasi; serta terbatasnya konektivitas sebagai jalur distribusi dan pemasaran.

     Berbagai hambatan pembangunan tersebut tentu mendesak diatasi dengan kebijakan yang bersifat pemihakan (afirmatif), memperhatikan keragaman kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat daerah (asimetris). Itulah tugas paling pokok seorang pemimpin dan kepemimpinan Republik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun