Mohon tunggu...
Elfryanty Novita
Elfryanty Novita Mohon Tunggu... Pegawai BPS Kota Sorong

Suka dengan segala hal berbau analisis data, volunteering, Trainings, Projects, Reading Economics News. Di waktu luang suka mengecek kondisi ekonomi dan pasar saham. Penggemar K-Drama dan slogan hidup adalah" Be good for yoursef before you treat others nicely"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Liebesleid

17 Juli 2025   14:00 Diperbarui: 17 Juli 2025   11:30 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

             Nora mengulum senyum misterius."Tebak saja sendiri. Gue tahu kakak cemas. Tapi tolong beri dia waktu."

             Tedi menghela napas berat. Sekali lagi dia menatap sosok Kara yang tenggelam dalam sedih. Cewek itu sedang mengalami krisis percaya diri. Akhir-akhir ini permainan biolanya kehilangan nuansa jiwa, tak seindah dulu. Tekniknya makin luar biasa, namun musiknya mengalun hampa.

             Empat hari Kara mengurung diri di kamar. Berkali-kali dia berlatih piano dari pagi sampai malam. Alunan biolanya terhenti bila dia lapar atau capek. Dalam sehari, hampir dua belas jam dia memainkan biola hingga jemarinya lecet. Mama sudah berusaha membujuk, namun Kara terlalu keras kepala. Tedi membiarkannya sampai batas kesabaran yang mampu ditahannya.

             Hari keempat, Tedi menerobos kamarnya. Awalnya Kara mengamuk. Namun suara frustasi Tedi mengacaukan hatinya. Tatapannya tajam dan dalam. Mendadak Kara merasakan perasaan aneh menyusupi hatinya.

             "Kara, kumohon. Ijinkan aku memainkan biola. Aku ingin melagukan suatu cerita. Kenangan masa laluku. Aku tak mampu berdiam diri melihat kamu menyiksa diri."

              Dia bergegas ke luar. Dan kembali sambil menggenggam biola keemasan dari kayu mahoni. "Stradivari!" Pekik hati Kara menahan napas.

              Cowok itu lalu menggesek biolanya. Alunan melodi demi melodi menggema. Melantunkan musik yang menyayat hati. Bulat dan jernih. Seakan ada gelombang keputusasaan menerpa relung Kara. Mendadak Kara menyadari musik itu yang terasa familier di telinganya. Itu kan musik yang paling dicintainya. Setetes air mata mengalir di pipinya. Sesekali Tedi menatapnya. Bola matanya bersinar dan memberinya senyuman.

              Dengan enggan, Kara berpura-pura acuh. Musik Tedi membuat hatinya meleleh. Menari-nari dalam pesonanya. Kara berubah jengkel. Andai dia bermain seindah Tedi. Nada-nada biola Tedi seolah memancarkan magnet dan jiwa yang kuat.

              Lamunannya tersentak saat Tedi selesai memainkan biola. Cowok itu telah berdiri di depannya. Dia terpaksa mendongak. Tedi lima belas senti lebih tinggi.

             "Liesleid, lagu favoritku. Lagu favorit kamu juga. Aku menyukainya karena lagu ini mirip dengan perasaanku 3 tahun lalu." Kara tertegun.

            "Ada sebuah cerita. Seseorang pernah frustasi karena orang selalu membandingkannya dengan ortunya. Mereka menganggap dia terkenal karena nama ortunya. Susah payah dia berusaha membuktikan kalau mereka salah. Siang malam dia berlatih mengasah bakatnya. Dia sampai mengorbankan semuanya. Tapi sekeras apa pun dia berusaha, orang tetap menyepelekannya. Tak ada yang menghargai dia sebagai dirinya, mereka selalu memandang nama ortunya yang terkenal."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun