Aku benar-benar kesal bukan main. Astaga!Bukan kali ini saja setumpuk surat mampir ke mejaku. Tanpa diam-diam mengintip dalam amplopnya, aku bisa menebak isinya. Dalam sebulan, hampir tiap minggu aku jadi kurir surat cinta buat sepupuku, Daniel. Belum lagi kadang-kadang ada yang menitipkan kado atau kue (malah ada yang buatan sendiri). Aku jadi kewalahan. Kenapa aku harus ketiban sial sih?Punya sepupu super cakep yang digilai banyak cewek. Sekampus pula. Ih!!!
Daniel Reinhart Cokroamidjoyo, sepupuku dari pihak Papa. Mahasiswa Universitas Persada Harapan, jurusan ekonomi prodi ekonomi pembangunan. Ketua BEM, ketua PA (Penjelajah Alam), mantan ketua Klub Sains Ekonomi (Isinya para cowok kutu buku yang membosankan, percaya deh), ketua panitia USM (Ujian Masuk Saringan) universitas, juara atletik se-universitas, juara Lomba Ilmiah dan segudang prestasi lain. Ya ampun!Semua begitu iri karena aku memiliki sepupu sesempurna itu.
Aku benci tiap kali menyerahkan surat-surat ini. Kalau mengabaikannya, mereka makin menerorku dengan pertanyaan-pertanyaan. Aku bergidik memikirkannya. Mengapa mereka keras kepala?Susah payah aku memberitahu mereka. Aku lebih rela menghadang peluru daripada menghadapi Daniel yang sangat dingin dan minim ekspresi.
Aku benar-benar gusar bertatapan dengan matanya yang dalam. Auranya mengintimidasi sekujur tubuh dan otakku. Hanya tatapan sekilas saja mampu membuatku bergidik. Aku hapal sikapnya tiap aku mengangsurkan setumpuk surat. Alis terangkat, sinar mata tajam menusuk, raut es terpahat sempurna sepanjang garis-garis wajah, sekujur tubuh kaku. Hii!!!Aku cuma bisa pasrah menanti vonis kematianku.
“Apa ini?”Pertanyaannya yang khas meluncur. Astaga!Dia itu sebenarnya bodoh atau apa?Jelas-jelas bentuk benda itu setumpuk kertas. Kenapa dia tidak kreatif dengan pertanyaan lain?
“Surat cinta.”Aku ingin menjawab ketus, namun terlalu ngeri.
Alisnya terangkat, sinar matanya tajam mengancam. Hugh!Ekspresi itu lagi.
“Apa kamu itu kurir surat cinta atau cupid atau malah kantor pos?Bodoh benar mau aja disuruh-suruh.”Komentar sarkas disertai cibiran mencemooh entah mengapa selalu sukses meletupkan emosiku. Dia malah menempelkan earphone ke telinganya lagi dan membaca buku. Ritualnya tiap sore senggang.
“Tapi mereka selalu menyelipkan surat di tas atau meja gue. Gue juga sudah berusaha menolak, tapi …”
“Kalau begitu buang saja semua surat konyol itu. Kenapa kamu tidak pernah mengerti, Va?Gue malas tiap hari dikasih surat.”
Nada bicaranya frustasi, tatapannya putus asa. Aku merinding mendengarnya menyebut namaku. Aneh memang. Tiap kali dia mengucapkannya, aku seolah dilanda kegelisahan dan perasaan bersalah.