Aku cepat-cepat berlari ke halte. Ampun deh. Hari ini aku telat bangun. Semalam Mbak Eka begadang menyelesaikan dekorasi buat acara kesenian di kampusnya. Dia ngotot memaksaku dengan galak untuk membantunya. Tidak perlu lama, aku terpaksa mengiyakan. Dia mengancam dengan manis, akan memberitahu Bunda kalau aku sedang jatuh cinta pada Evan. Kalau Bunda sampai tahu, tamatlah nasibku. Sedari dulu Beliau berkali-kali mengultimatum agar aku nggak boleh berpacaran sampai lulus SMA.
      Pengorbananku tidak sia-sia. Dari kejauhan, sosok Evan tampak bersinar sementara sekelilingnya seakan meredup. Aku mempercepat langkah. Napasku makin memburu. Berpura-pura, aku berdiri di sebelahnya sambil menenangkan napas yang terengah-engah. Astaga. Jantungku malah berdentum makin kencang. Susah payah aku menahan iramanya yang cepat. Hampir aku tak mampu menahan diri.
      Dia melirikku sekilas, tersenyum ramah -rasanya saat itu jantungku seakan meledak saking tak percaya. Aku berusaha membalas senyumnya. Namun sepertinya gagal. Yang terpancar di wajahku lebih mirip cengiran yang menyedihkan.
      Dia kembali menatap lurus ke depan. Aku mengutuki diri. Ya ampun. Bodohnya aku!Padahal tadi kesempatan emas mengobrol dengannya.
      Setiap hari kami selalu berpapasan di halte. Awalnya suatu pagi aku bangun kesiangan. Gara-gara Ella, sahabatku yang baru berpacaran dengan cowok pebasket di sekolah kami. Sudah sejak kelas 1 SMA dia menyukai cowok itu. Setahun kemudian, perasaannya ternyata berbalas dengan ungkapan dari cowok itu. Malamnya Ella menelponku penuh semangat. Akhirnya kami mengobrol hingga larut malam. Padahal besok paginya pelajaran Matematika milik Pak Yoga, si Killer Man. Aku benar-benar panik. Turun dari angkot, aku berlari seperti kesetanan ke arah halte. Hingga menabrak seorang cowok jangkung yang berdiri sambil membaca buku.
       Aku dibutakan oleh ketakutan. Sambil menundukkan kepala, aku berkali-kali meminta maaf. Cowok itu terdiam cukup lama.
      "Kamu nggak usah minta maaf. Nggak pa-pa, kan?"
      Oh My God!Suara basnya terdengar lembut menenangkan. Saat beradu tatap, sekujur tubuhku lemas. Gila, dia luar biasa tampan. Wajahnya putih bersih. Rahangnya tampak tegas dan memesona. Sinar matanya tajam. Kesan cool terpancar.
      Mati-matian aku menguasai diri. Napasku sesak terpukau pesonanya. Dia mengernyitkan kening.
      "Nggak usah panik. Masih keburu kok."
      Dia tersenyum tipis. Benar-benar tipis. Hanya mengguratkan sedikit lekukan pada bibirnya. Namun senyum itu mampu menghapus kepanikanku dalam sekejap.