Pada hari Rabu, 10 September 2025 pukul 07.30 WIB, kami mengikuti perkuliahan Pendidikan Pancasila secara daring bersama dosen pengampu Bapak Study Rizal LK, MA. Dalam perkuliahan ini, kami mendapat tugas untuk membuat resume dari sebuah artikel berjudul:
"Kerusuhan sebagai Bahasa yang Putus: Membaca Tragedi, Arogansi Elite, dan Solusi Komunikasi Kritis."
Artikel ini membahas bahwa demonstrasi pada dasarnya adalah bahasa rakyat untuk menyampaikan aspirasi ketika saluran resmi tidak didengar. Namun, ketika berubah menjadi penjarahan, pembakaran, dan perusakan fasilitas publik, maka demonstrasi kehilangan rasionalitasnya dan menjelma menjadi kerusuhan---tanda runtuhnya komunikasi antara rakyat dan negara.
Kerusuhan tidak bisa hanya dilihat sebagai tindak kriminal, melainkan sebagai hasil akumulasi kekecewaan dan distorsi komunikasi antara rakyat dengan elite. Tragedi Affan Kurniawan, seorang driver ojol yang tewas saat demo, menjadi simbol bahwa rakyat kecil sering kali menjadi korban dari komunikasi politik yang buntu.
Di sisi lain, arogansi elite politik juga memperlebar jurang komunikasi. Sikap joged di tengah penderitaan rakyat dan ungkapan yang dianggap "tolol sedunia" menjadi bukti buruknya kualitas komunikasi politik. Ketika rakyat merasa dilecehkan secara simbolik, maka amarah sosial mencari jalan brutal untuk diekspresikan.
Namun, kerusuhan justru paradoks: rakyat marah pada negara, tetapi yang hancur adalah fasilitas publik yang sebenarnya milik rakyat sendiri. Hal ini lahir dari alienasi, yaitu perasaan rakyat bahwa negara dan fasilitasnya bukan lagi milik mereka.
Artikel ini juga menawarkan solusi komunikasi kritis, yaitu:
- Elite politik harus berhati-hati dalam kata, gestur, dan simbol komunikasi.
- Negara perlu membuka ruang aspirasi yang nyata, bukan sekadar formalitas.
- Aparat keamanan harus mengedepankan pendekatan humanis.
- Masyarakat sipil harus menyalurkan kemarahan ke arah gerakan konstruktif, bukan anarki.
Kesimpulan:
Kerusuhan adalah bahasa yang putus akibat komunikasi yang gagal antara rakyat dan negara. Tragedi Affan Kurniawan, arogansi elite, hingga simbol-simbol politik yang melukai rakyat memperlihatkan rapuhnya demokrasi. Tantangan bagi bangsa ini adalah apakah mampu belajar dari bahasa yang putus tersebut untuk membangun komunikasi yang lebih sehat, atau justru membiarkan bara kemarahan rakyat terus menyala.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI