Mohon tunggu...
Elfahd Hanny Bramantyo
Elfahd Hanny Bramantyo Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa dari Jurusan Hubungan Internasional Universitas Jember, suka mengenai hal-hal berbau politik dan perkembangan teknologi (Globalisasi)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dolar Tak Terkalahkan? Upaya BRICS Untuk Menggoyang Hegemoni AS

2 Mei 2025   19:33 Diperbarui: 2 Mei 2025   19:33 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selama lebih dari tujuh dekade, dolar Amerika Serikat (AS) telah menjadi pusat gravitasi sistem keuangan global. Statusnya sebagai mata uang cadangan utama dunia memberikan AS keunggulan yang sering dijuluki sebagai exorbitant privilege---keistimewaan untuk membiayai defisit neraca berjalan dengan mata uang yang dicetak sendiri. Dalam sistem yang dibentuk melalui kesepakatan Bretton Woods tahun 1944, seluruh dunia diarahkan untuk menetapkan nilai tukar mata uang mereka terhadap dolar, sementara hanya dolar yang dapat dikonversi ke emas.

Meskipun sistem Bretton Woods resmi runtuh pada tahun 1971, dominasi dolar tetap bertahan, bahkan menguat. Hingga hari ini, sekitar 60% cadangan devisa dunia masih disimpan dalam bentuk dolar. Transaksi perdagangan global, pinjaman internasional, bahkan harga komoditas strategis seperti minyak dan emas umumnya dihitung dalam mata uang tersebut.

Namun, keunggulan ini tidak tanpa konsekuensi. Ketika Federal Reserve menaikkan suku bunga, gelombang dampaknya menyebar ke seluruh dunia. Negara-negara berkembang sangat rentan: arus modal asing bisa keluar secara tiba-tiba, nilai tukar mereka tertekan, dan beban utang dalam dolar meningkat drastis. Dalam hal ini, dominasi dolar menjelma menjadi pedang bermata dua yang memperlebar jurang ketimpangan dalam sistem keuangan internasional.

Kelahiran BRICS dan Mimpi akan Keseimbangan Baru

Di tengah ketimpangan ini, muncul dorongan dari negara-negara berkembang untuk membangun sistem moneter global yang lebih adil dan multipolar. BRICS---akronim dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan---mewakili lima ekonomi besar dari kawasan Global South yang memimpikan reposisi arsitektur keuangan internasional.

Sejak pembentukannya, BRICS telah mengembangkan sejumlah inisiatif untuk menantang dominasi dolar dan institusi-institusi yang berakar pada semangat Bretton Woods. New Development Bank (NDB), yang didirikan pada tahun 2014, bertujuan menyediakan pembiayaan proyek-proyek pembangunan tanpa syarat-syarat ketat ala Bank Dunia atau IMF. Tak lama setelahnya, Contingent Reserve Arrangement (CRA) dibentuk sebagai jaringan pengaman finansial bagi anggotanya---semacam miniatur IMF yang diklaim lebih inklusif dan berorientasi pada negara berkembang.

Lebih jauh, beberapa negara anggota BRICS mulai mendorong penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan bilateral. China, sebagai motor ekonomi kelompok ini, aktif mempromosikan yuan dalam transaksi energi dan pertanian dengan mitra seperti Brasil dan Rusia. Langkah ini bukan hanya simbolik, tetapi juga strategi nyata untuk membangun tatanan moneter alternatif yang lebih beragam.

Tantangan di Balik Ambisi Multipolar

Meskipun ide sistem multipolar terdengar ideal, kenyataannya jauh lebih kompleks. Salah satu hambatan utama adalah keterbatasan kepercayaan terhadap mata uang anggota BRICS di pasar global. Yuan China, misalnya, mungkin memiliki potensi sebagai mata uang internasional, tetapi kontrol ketat pemerintah Tiongkok atas nilai tukarnya membuat investor global bersikap hati-hati.

Ketimpangan kekuatan dan kepentingan di antara anggota BRICS juga tidak bisa diabaikan. India dan China kerap berseberangan secara geopolitik, sementara Rusia menghadapi sanksi internasional yang membatasi ruang geraknya di arena keuangan global. Di sisi lain, Brasil dan Afrika Selatan memiliki prioritas pembangunan domestik yang kadang tidak sejalan dengan agenda kolektif BRICS.

Infrastruktur keuangan dunia yang saat ini didominasi oleh negara-negara Barat juga menjadi tantangan tersendiri. Sistem pembayaran internasional seperti SWIFT masih menjadi tulang punggung transaksi global. Upaya Tiongkok menciptakan alternatif seperti CIPS (Cross-Border Interbank Payment System) masih dalam tahap pengembangan dan belum memiliki jangkauan global yang cukup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun