Kemarin, saat senja memerah saga, aku berpapasan dengan seorang lelaki yang seumuran kakakku. Wajahnya mendung. Matanya menangkup luka. Sesekali kakinya yang bersepatu terantuk batu. Saat melewati jalan berlubang, ia terpeleset dan nyaris terjengkang. Aku yang berada tepat di hadapannya, bersegera menopang tubuhnya yang terhuyung agar tidak tumbang.
"Kau, gadis muda, mengapa kau lakukan ini?" ia bertanya setengah menghardik. Sepertinya ia enggan kubantu.Â
"Aku tidak ingin melihat Anda terjatuh, Tuan," sahutku menenangkannya. Mendadak lelaki dalam pelukanku itu terdiam.
Kupapah ia menuju tepi jalan. Kududukkan di sebuah bangku panjang di mana orang-orang biasa menunggu bus kota menurunkan penumpang.
"Tak seharusnya kau peduli padaku," lelaki itu masih juga mengomeliku. Aku pura-pura tidak mendengarnya.
Sesaat keheningan menguasai. Aku dan lelaki itu saling membisu.Â
"Kau tahu aku telah meminang waktu," akhirnya lelaki itu membuka suara. Perlahan dikeluarkannya sekuntum mawar yang sudah layu.Â
"Meminang waktu?" alisku mengernyit.Â
"Yah, meminang waktu, untuk kunikahi," ia menatapku dengan pandangan ingin dimengerti. Aku terpaksa mengangguk. Walau sejujurnya, aku tak paham dengan apa yang ia bicarakan.
"Sang waktu itu, seperti dirimu, Dik, cantik," ia memanggilku Dik, kependekan dari kata adik, seraya mendesis panjang.Â
"Apakah waktu berkenan menerima pinangan Tuan?" aku mulai tertarik dengan ceritanya.