"Kan ada mantel. Lagi pula hanya hujan air. Tidak akan membuatku luntur, bukan?" Seperti biasa ia selalu punya kesempatan untuk menggodaku.
"Kalau hujan bisa membuat Mas luntur aku malah senang!" Aku balas menggodanya.
"Menyesal nih memiliki suami berkulit legam seperti aku?" Ia pura-pura tersinggung. Matanya yang nakal tertuju lama ke arahku.
"Nanti kalau anak kita lahir, aku ingin ia berjenis kelamin laki-laki. Wajahnya harus mirip Mas. Kulit dan matanya juga." Aku sengaja mengalihkan pembicaraan.
Ia diam, mengurungkan niat memakai mantel hujan. Kakinya perlahan melangkah mendekatiku, lalu bibirnya mengecup lembut ujung hidungku.
"Amiiin. Tapi menurutku, anak kita pasti lebih cakep kalau mirip ibunya." Ia berkata serius.
"Tidak. Ia harus mirip ayahnya!"
"Mirip ibunya!"
Dan, perdebatan kecil itu baru terhenti ketika ponsel di tangannya berdering.
"Aku harus segera berangkat! Assalamualaikum."
***
Bocah itu baru saja pamit pergi tidur. Setelah sebelumnya meninggalkan pesan agar dibangunkan jika Peri Hujan datang mengetuk jendela.