Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Reinkarnasi

2 Januari 2021   07:26 Diperbarui: 2 Januari 2021   08:00 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Shutterstock


Saat hendak pergi menuju pasar, saya mengalami kecelakaan. Motor saya bertabrakan dengan sebuah mobil avanza yang tiba-tiba saja menikung dengan kecepatan tinggi. Tubuh saya mencelat sejauh sepuluh meter. Menghantam trotoar dan mengalami luka parah.

Orang-orang bilang saya sudah mati. Karena saat itu saya diam tak bergerak. Jantung dan nadi saya berhenti berdenyut. Orang-orang yang lalu lalang tidak berani menyentuh tubuh saya. Takut dimarahi polisi, katanya.

Entah bagaimana ceritanya. Tahu-tahu nyawa saja berpindah tempat. Keluar dari raga dan memilih tubuh seorang wanita yang oleh dokter baru saja divonis mati.

Bisa dibayangkan, bukan? Wanita itu langsung duduk terhenyak begitu nyawa saya masuk ke dalam tubuhnya. Ia menatap linglung sekeliling. Dan, tentu saja kejadian itu membuat orang-orang yang datang melayat terkaget-kaget.

"Loh, kenapa saya berada di sini? Bukankah saya harus pergi ke pasar?" tanya saya seraya menatap orang-orang yang tidak saya kenal itu. Orang-orang di sekitar saya makin terperangah. Beberapa di antara mereka menyerukan nama Tuhan. Beberapa yang lain berlari ketakutan.

"Puji Tuhan! Isma, kau hidup lagi, Nak!" seorang wanita paruh baya menghambur ke dalam pelukan saya. Ia menciumi pipi saya bertubi-tubi hingga napas saya terasa sesak.

***
Sekarang saya mulai paham, tubuh yang saya singgahi bernama Isma. Juga penyebab kematian wanita itu. Isma tewas karena menenggak obat tidur over dosis.

Tapi, siapa sesungguhnya Isma? Ini yang membuat saya bingung. Saya lantas berusaha mencari tahu dengan memasang mata dan telinga baik-baik.

Ternyata Isma adalah istri seorang pengusaha kaya raya. Terbukti dari deretan karangan bunga yang terpampang rapi di sepanjang halaman rumah.

"Turut berduka cita sedalam-dalamnya atas wafatnya Nyonya Isma istri Tuan Himawan."

Sekarang masalahnya --- yang mana Tuan Himawan suami Isma? Saya celingukan. Mengamati beberapa pria yang berdiri berjejer di ruang tamu.

Pertanyaan saya akhirnya terjawab ketika seorang pria, bertubuh tinggi, berwajah tampan, berkemeja rapi, keluar dari sebuah kamar. Pria itu menatap saya dengan air muka terkejut.

"Isma? Oh, aku senang melihatmu segar bugar!" pria itu menghampiri dan memeluk erat saya. Hanya sebentar. Aroma wangi parfumnya yang menyengat membuat saya menarik diri.

"I-ya, Mas. Alhamdulillah aku sehat," agak kikuk saya menyahut seruan itu. Dan bertambah kikuk ketika pria itu membimbing saya masuk ke dalam kamar.

"Kau tentu lelah. Istirahatlah lagi. Biar aku yang menemui para pelayat, mm, maksudku para tamu."

Saya mengangguk. Pria itu kemudian meninggalkan saya dan menutup pintu kamar dengan agak tergesa.

Saya masih berdiri, termangu menatap sekeliling ruangan. Sesekali saya berdecak kagum. Sungguh, kamar yang sangat mewah. Semua perabotannya bagus dan mahal.

Sejenak saya tercenung. Timbul pertanyaan di dalam benak saya. Apa sesungguhnya pemicu perempuan bernama Isma itu mati?

Saya menggerayangi tubuh saya sendiri. Kulit saya putih. Mulus dan halus. Nyaris tanpa cela.

Karena penasaran saya berjalan menuju meja rias, mendekatkan wajah di depan cermin. Lalu mematut diri berlama-lama di sana.

Astaga! Wajah saya ternyata sangat cantik. Bibir saya mungil merona. Hidung saya mancung. Mata saya bulat indah.

Tapi mengapa saya harus mati?

Lalu saya neninggalkan cermin. Berjalan menuju lemari pakaian yang berdiri megah. Membuka pintunya perlahan dan memperhatikan gaun-gaun indah yang tergantung rapi di dalamnya.

Di sana --- di dalam lemari itu terdapat pula kotak berukir berisi setumpuk perhiasan mahal. Saya lantas berpikir, dulu, sebelum mati Isma pastilah perempuan yang sangat beruntung.

Terdengar pintu kamar berderit perlahan. Pria tampan itu masuk lagi. Ia menatap saya sejenak. Lalu meraih jas warna hitam yang tersampir di punggung kursi.

"Isma, karena kamu tidak apa-apa, aku akan kembali ke kantor. Ada rapat penting."

Saya terdiam.

Pria itu mengenakan sendiri jas hitamnya tanpa meminta bantuan saya. Entahlah. Menurut saya ini agak aneh. Sebelum ini saya sering mendengar, para pria kaya biasanya mengenakan kemeja atau jasnya dibantu oleh istri-istri mereka.

"Kau tidak ingin membantuku memasangkan dasi ini?" tiba-tiba pria itu menoleh, mengagetkan saya. Saya menggeleng.

"Ya, sudah. Itulah kebiasaan burukmu. Kau bahkan tidak mau belajar cara memasangkan dasi untuk menyenangkan hati suamimu. Kau terlalu bodoh sebagai istri!"

Saya terkejut mendengar ucapannya.

"Kalau tahu aku bodoh mengapa kau menikahi aku?" ujar saya sedikit tersinggung.

"Itu? Karena warisan orangtuamu. Harta mereka merupakan aset berharga bagi perusahaanku. Eh, bukankah hal ini sudah sering kusampaikan kepadamu?" Pria itu menatap saya dengan senyum licik. Lalu tanpa menunggu sanggahan dari saya, ia pergi. Meninggalkan kamar tanpa mencium kening saya.

Saya jadi tahu. Mengapa perempuan bernama Isma itu memilih mati. Kiranya hidupnya selama ini tidak bahagia.

Sekarang apa yang mesti saya perbuat? Tetap bertahan sebagai istri Tuan Himawan, atau ...?

Tunggu dulu! Beri saya waktu untuk menjelaskan semuanya. Begini. Sebelum ruh saya merasuki tubuh Isma, saya ini seorang laki-laki. Pekerjaan saya berjualan ayam potong di sebuah pasar pagi.

***
Malang, 02 Januari 2021
Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun