Lalu saya neninggalkan cermin. Berjalan menuju lemari pakaian yang berdiri megah. Membuka pintunya perlahan dan memperhatikan gaun-gaun indah yang tergantung rapi di dalamnya.
Di sana --- di dalam lemari itu terdapat pula kotak berukir berisi setumpuk perhiasan mahal. Saya lantas berpikir, dulu, sebelum mati Isma pastilah perempuan yang sangat beruntung.
Terdengar pintu kamar berderit perlahan. Pria tampan itu masuk lagi. Ia menatap saya sejenak. Lalu meraih jas warna hitam yang tersampir di punggung kursi.
"Isma, karena kamu tidak apa-apa, aku akan kembali ke kantor. Ada rapat penting."
Saya terdiam.
Pria itu mengenakan sendiri jas hitamnya tanpa meminta bantuan saya. Entahlah. Menurut saya ini agak aneh. Sebelum ini saya sering mendengar, para pria kaya biasanya mengenakan kemeja atau jasnya dibantu oleh istri-istri mereka.
"Kau tidak ingin membantuku memasangkan dasi ini?" tiba-tiba pria itu menoleh, mengagetkan saya. Saya menggeleng.
"Ya, sudah. Itulah kebiasaan burukmu. Kau bahkan tidak mau belajar cara memasangkan dasi untuk menyenangkan hati suamimu. Kau terlalu bodoh sebagai istri!"
Saya terkejut mendengar ucapannya.
"Kalau tahu aku bodoh mengapa kau menikahi aku?" ujar saya sedikit tersinggung.
"Itu? Karena warisan orangtuamu. Harta mereka merupakan aset berharga bagi perusahaanku. Eh, bukankah hal ini sudah sering kusampaikan kepadamu?" Pria itu menatap saya dengan senyum licik. Lalu tanpa menunggu sanggahan dari saya, ia pergi. Meninggalkan kamar tanpa mencium kening saya.