Saya baru saja melihat ibu merajang bawang merah hingga matanya merah. Saya kira ibu sedang menangis. Ternyata tidak. Ibu tidak sedang menangis. Melainkan ibu sedang marah.
Ya, ibu memang marah! Saya bisa merasakan hentakan-hentakan tangannya saat menghujamkan ujung pisau di atas meja.
"Kau harus menggugurkannya, Runi."
"Tidak! Aku tidak ingin menjadi pembunuh. Apalagi terhadap darah dagingku!"
 Lalu saya melihat mata ibu semakin berkaca-kaca. Seperti permukaan air danau yang sedang menyelimuti tubuh saya.
***
Sekarang saya melihat ibu beralih mengiris beberapa butir buah nanas. Berkali-kali ia memaksakan irisan-irisan buah itu masuk ke dalam mulutnya. Dan berkali pula ibu muntah.Â
Saya kembali melihat mata ibu berair. Saya kira kali ini ibu benar-benar menangis. Mengeluarkan airmata yang selama ini tersimpan rapi di kepala.
"Aku tidak bisa menikahimu secara resmi, Runi. Kau harus paham itu!"
Ibu tidak menimpali barang satu kata. Ibu hanya menatap jauh ke luar jendela. Dan saya bisa merasakan hati ibu tercabik dan terlunta-lunta.
"Aku benci telah jatuh cinta kepadamu!"
***