"Sudah memudarkah pesonaku?" ia bicara sendiri. Segores luka di hati mulai mengucurkan darah, terasa perih. Mendadak ia ingin menangis.
Tapi menangisi apa? Dan untuk siapa?
Menangislah Fatimah. Meski airmata tidak akan mampu mengembalikan cinta yang telah pergi.
Perempuan itu tergugu. Lalu sekali lagi menatap pantulan wajahnya di dalam cermin. Ia mencoba tersenyum. Tapi senyum itu terkalahkan oleh rasa getir yang terpancar dari kedua bola matanya. Â
***
Jika benar perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, mengapa justru laki-laki itu sendiri yang tega mematahkan dan meremukkannya?
Berulang kali Fatimah mendesah. Menepis rasa tak percaya. Rasa masygul. Ia tak habis pikir soal keputusan Abi yang tiba-tiba saja ingin menduakan dirinya tanpa alasan yang jelas.Â
"Laki-laki boleh beristri lebih dari satu, asalkan dia mendapat izin dari istri pertamanya dan mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya yang lain," demikian Fatimah pernah mendengar penjelasan Abi saat mereka mengaji berdua.
"Tapi Abi, adil itu sifatnya subyektif," potong Fatimah, kala itu. Abi mengangkat alisnya tinggi-tinggi.Â
"Adil bagi laki-laki belum tentu adil bagi perempuan," Fatimah melajutkan dengan suara pelan. Abi terdiam. Laki-laki itu merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam diri istrinya.
Pemberontakan.